search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Diaspora Bali Tolak Pulau Koloni Teluk Benoa
Selasa, 22 April 2014, 18:56 WITA Follow
image

beritabali.com/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Diaspora atau sekelompok warga Bali yang tinggal di luar negeri menolak dibangunnya pulau koloni di Teluk Benoa. Apa alasannya? Penolakan ini disampaika lewat rilis yang dikirim ke alamat email redaksi beritabali.com. Dalam siaran pers tersebut, Sekaa atau Diaspora Bali yang bermukim di berbagai negara ini menyampaikan empat pernyataan sikap antara lain :

1.Menolak tegas rencana pembangunan pulau buatan untuk kawasan pariwisata terpadu di Teluk Benoa;

2.Menuntut Pemerintah Kabupaten Badung dan Pemerintah Provinsi Bali untuk melakukan revitalisasi atas Pulau Pudut dengan menggunakan anggaran pemerintah;

3.Menuntut Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menghentikan setiap upaya dalam mewujudkan pembangunan pulau buatan di Teluk Benoa;

4.Mendorong masyarakat Bali untuk mengambil posisi kritis terhadap agenda pembangunan Bali yang termuat dalam MP3EI maupun model pembangunan yang tidak adil lainnya.

Menurut perwakilan Diaspora Bali, Agung Wardana, penolakan terjadap pembangunan pulau buatan di Teluk Benoa ini didasarkan atas berbagai pertimbangan.

Pertama, Revitalisasi Pulau Pudut seluas 8 hektar dengan konsesi dukungan membuat pulau baru 838 hektar. Rencana investor merevitalisasi Pulau Pudut tidak sebanding dengan resiko yang harus ditanggung masyarakat setempat.  

"Jika hanya sekedar merevitalisasi Pulau Pudut tentu kita tidak perlu sebuah perusahaan bernama PT. TWBI untuk melakukannya. Banyak dana publik yang seharusnya bisa digunakan untuk itu sehingga tawaran PT. TBWI di Teluk Benoa tidak akan dibutuhkan lagi,"ujar Agung.

Kedua, pembuatan pulau baru di Teluk Benoa akan berdampak besar bagi lingkungan. Menurut pemodelan yang dilakukan Conservation International (CI), pengurugan laut seluas 838 hektar untuk kawasan wisata terpadu ini akan menyebabkan perubahan arus air yang pada gilirannya akan dapat menyebabkan abrasi dan beberapa wilayah yang secara geografis berposisi rendah tergenang akibat banjir rob.

Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan Puslit Geoteknologi LIPI 2010, Teluk Benoa memiliki potensi bahaya likuifaksi. Artinya, lapisan tanah pada ka wasan ini sangat rentan mengalami perubahan dari padat menjadi cair maupun terjadi amblesan jika terjadi pergeseran lapisan bumi. Dengan demikian, tentu kawasan ini sangat beresiko jika dibangun infrastruktur pariwisata skala besar dan tinggi.

Sebagai perbandingan, proyek pulau Bali Benoa Marina (BBM) seluas 269,2 hektar membutuhkan material sebanyak 24 juta meter kubik, maka untuk pulau baru PT. TWBI dengan luas 838 hektar akan membutuhkan lebih dari 72 juta meter kubik.

"Pertanyaannya adalah dari mana material itu akan diperoleh dan siapa yang harus menanggung dampak sosial dan lingkungannya. Dengan material sebanyak itu, sebenarnya cukup untuk mereklamasi bekas Galian C Gunaksa yang terlantar dan penuh kubangan hingga setinggi 2 meter dari tinggi semula,"ujarnya.

Ketiga, pulau buatan ini akan mengubah jalur distribusi sumber daya alam terutama air. Telah banyak penelitian yang menyatakan bahwa Bali diambang krisis air karena menurunnya kualitas dan kuantitas air. Bahkan Kementerian Lingkungan Hidup memperkirakan Bali akan mengalami defisit air hingga 27,6 milliar meter kubik pada 2015. Jalur air bersih yang ada akan diprioritaskan untuk dialirkan ke kawasan Bali Selatan di mana industri pariwisata yang rakus air berlokasi.

"Sungguh ironis. Di saat banyak masyarakat Bali, misalnya di Kecamatan Kubu, Karangasem, harus berjalan kaki hingga 3 kilometer atau menjual ternak untuk mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, ternyata di pusat industri pariwisata Bali para turis menggunakan air sebagai pemuas kesenangan semata. Bagi kami, ini adalah ketidakadilan,"imbuhnya.

Keempat, jikalaupun pulau buatan tersebut secara adminsitratif akan menjadi bagian Provinsi Bali, namun yang dapat mengakses dan menikmati pulau tersebut adalah kelompok kecil elit berduit semata. Tentu pulau baru ini akan dibuat se-ekslusif dan se-istimewa untuk memberikan kesan mewah. Kontrol keluar dan masuk orang dan barang akan didesain secara ketat demimenciptakan kenyamanan bagi para orang kaya yang sedang berlibur dan bersenang-senang.

"Lagi-lagi kita sebagai masyarakat Bali hanya diminta untuk berbangga diri karena memiliki sebuah pulau mewah nan megah. Sejatinya kebanggaan ini adalah semu semata karena kita sendiri sebagai ‘pemilik’ tidak bisa menikmatinya sebab tidak mampu membayar. Sehingga tidak berlebihan pulau buatan ini disebut sebagai ‘pulau koloni’ yang hanya diperuntukkan bagi orang kaya, dan tinggalah kita tetap sebagai tontonan,"ujar pria yang kini menempuh studi program doktor di Australia ini.

Kelima, konon ketika pulau koloni tersebut beroperasi akan cukup untuk menampung 200,000 tenaga kerja yang baru lulus. Sementara tahun 2015 Indonesia akan memasuki masyarakat ekonomi ASEAN di mana mobilitas modal, jasa dan tenaga kerja akan semakin tinggi. Masyarakat Bali harus bersaing dengan tenaga kerja Thailand yang lebih matang dalam industri pariwisata atau pun dari Singapura, Filipina dan Malaysia yang menguasai bahasa asing yang jauh lebih baik. Dan, pulau buatan tersebut akan menjadi arena kompetisi sumber daya manusia regional.

"Masalahnya arena ‘tarung’ di tingkat regional dipersiapkan terlebih dahulu tanpa ada perbaikan sumber daya manusia di tingkat lokal. Alhasil, wajah industri pariwisata hanya akan menyisakan masyarakat lokal yang hanya menjadi tenaga kasar dan tersisih dari kerasnya kompetisi yang tidak adil."

 

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami