Tatkala Para Tuna Netra Unjuk Kemampuan Megamel di Ajang PKB 2019
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. Mereka adalah sosok-sosok tuna netra yang tergabung dalam Sanggar Penyandang Cacat Rwa Bhineda. Mereka menunjukkan kemampuan memainkan gamelan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-41 di kalangan Angsoka, Taman Budaya, Denpasar pada Selasa siang(9/7).
[pilihan-redaksi]
Satu dua tangan saling menggenggam, saling menuntun, dan keduanya pun tersenyum. Sekitar setengah jam sebelum pementasan dimulai, penabuh Sanggar Penyandang Cacat Rwa Bhineda telah mengambil posisi siap di hadapan gamelan masing-masing. Tak lama pun mereka mulai memainkan gamelan. Meski Kalangan Angsoka belum disesaki banyolan-banyolan Prembon, nyatanya kursi berupa undakan batu itu sudah nyaris dipadatipenonton.
Antusiasme penonton tampak tak terbendung lagi. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, mereka semua berbagi tawa. Ditambah lagi interaksi antar seniman Prembon dan penonton, yang tak khayal membuat Kalangan Angsoka makin menghangat diselimuti canda tawa. Beberapa diantaranya bahkan hingga mengusap air mata suka. Meski begitu, bagi mereka yang sekadar lalu lalang di sekitar Kalangan Angsoka, pasti tak akan pernah membayangkan. Jika alunan harmonisasi gamelan yang mengiringi Taman Penasar siang itu, dibawakan oleh sekelompok penabuh tunanetra.
Ini bukan kali pertama Sanggar Rwa Bhineda beraksi. Menurut I Made Gede Mandra (45) selaku pelatih, ada sekitar belasan kali Sanggar Rwa Bhineda telah menampilkan pentas seni. “Awalnya saya sangat sedih, saya menangis melihat mereka naik tangga untuk latihan. Tapi kemudian saya diberitahu gini caranya untuk melatih mereka. Sampai sekarang kita bisa latihan bersama-sama,” ungkap Gede Mandra tatkala ditemui seusai pementasan Prembon.
Biasanya untuk satu kali pementasan, dapat memakan waktu sekitar dua bulan pelatihan. Dimana latihan itu rutin dilaksanakan tiap minggu. Gede Mandra juga menambahkan, jika pelatihan untuk kaum tuna netra ini dapat berlangsung dengan cara meraba maupun mendengarkan melodi gamelan satu per satu. Sehingga tentu hal ini membutuhkan kepekaan suara yang kuat.
Gede Mandra justru mengaku masalah pelatihan ialah bukan kendala utama. Perkara transportasi saat hendak memulai latihan nyatanya merupakan kesulitan yang dihadapi Sanggar Rwa Bhineda selama ini. Hal serupa dilontarkan seorang anggota Sanggar Rwa Bhineda, I Ketut Masir (53).
Masir turut merintis Sanggar Rwa Bhineda bersama Petrus Gunadi semenjak tahun 1997.Masir mengaku jika masalah transportasi yang kurang memadai benar-benar menyulitkannya. Disamping mengobrol tentang kendala, Masir juga membagi sekilas kisah awal terbentuknya Sanggar Rwa Bhineda “Dulu ceritanya seni penyandang disabilitas tuna netra itu tidak ada perkumpulannya, jadi kami berusaha untuk membentuk bersama Bapak Petrus Gunadi,” tuturnya dengan kacamata hitam yang membingkai netranya.
Tentunya diantara lelucon-lelucon yang dibawakan, Sanggar Rwa Bhineda tak lupa untuk menyelipkan pesan bagi para generasi muda. “Kita ingin mengingatkan kepada masayarakat Bali, terutama untuk anak-anak yang kebanyakan bermain hp, untuk bisa melestarikan dan menjaga budaya kita, yakni seni gamelan dan seni tari,” tegas Mandra.
Pesan lainnya disampaikan Masir sembari memamerkan senyum ramahnya. “Marilah kita jangan malu jadi orang Bali. Jangan malu membaca kidung atau geguritanya, jangan malu untuk bermain kesenian Bali,”ajar Masir.[bbn/ananta/mul]
Reporter: bbn/mul