Benarkah Kasus Cerai Melonjak di Tengah Pandemi?
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, NASIONAL.
Data Mahkamah Agung menunjukkan lonjakan angka perceraian selama masa pandemi lebih banyak disebabkan oleh pergeseran waktu mengajukan permohonan cerai, daripada faktor-faktor lain, seperti ekonomi yang memburuk.
Dikutip dari voaindonesia.com, Nur Djannah Syaf, Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama, Ditjen Badilag, Mahkamah Agung RI menjelaskan lonjakan angka perceraian itu karena penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“PSBB mulai pada bulan Maret sampai April, karena kebijakan PSBB ini membatasi masyarakat datang ke pengadilan. Sebagian besar masyarakat menahan diri untuk tidak keluar rumah termasuk mendaftarkan perkaranya ke pengadilan,” kata Nur Djannah dalam diskusi daring Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Selasa (8/9) sore.
Diskusi digelar untuk membahas pemberitaan media seputar angka perceraian, yang dinilai kurang memperhatikan data secara nasional.
Sejumlah media memberitakan pandemi virus corona (Covid-19) menyebabkan angka perceraian naik tajam. Penyebabnya, diduga karena perekonomian yang memburuk mengakibatkan banyak kepala keluarga yang kehilangan pekerjaan dan buntutnya membuat tuntutan cerai dari istri meningkat.
Nur Djannah menyebutkan, angka perceraian di Indonesia selalu naik dalam lima tahun terakhir. Angka perceraian pada 2019 mencapai 480.618 kasus, naik hampir 20% dari angka perceraian 2016, yaitu 401.717. Pada 2020 ini, dari Januari-Agustus tercatat 306.688 perceraian di Indonesia.
Melihat angkanya, Nur Djannah memastikan bahwa tidak ada lonjakan berarti pada tahun ini dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Namun, jika dilihat data perbulan, Nur Djannah mengakui memang ada peningkatan sangat tajam jumlah perceraian di bulan-bulan setelah pencabutan PSBB dibandingkan dengan pada bulan-bulan penerapan PSBB.
Menurut data MA, angka perceraian anjlok menjadi 16.410 pada April dan 11.848 pada Mei, dari 33.999 kasus pada Maret sebelum penerapan PSBB di banyak daerah. Ketika PSBB dicabut pada Juni, angka perceraian melonjak menjadi 57.750 kasus, 51.133 pada Juli, dan 36.525 pada Agustus. Seperempat perceraian ini dilatarbelakangi masalah ekonomi.
“Pada bulan Mei pemerintah memberlakukan kebijakan new normal, dimana masyarakat boleh berinteraksi dengan masyarakat lainya, pada era new normal inilah terjadi peningkatan jumlah perkara sebagai akumulasi perkara yang tertunda pendaftarannya, ketika PSBB diberlakukan,” kata Nur Djannah.
Nur Djannah juga menambahkan, kehebohan juga terjadi karena masyarakat melihat antrean panjang di banyak pengadilan agama untuk pendaftaran cerai. Padahal yang terjadi, menurutnya, karena penerapan jaga jarak, warga yang bisa masuk ke kantor pengadilan dibatasi. Sisanya harus menunggu di halaman, sehingga terkesan terjadi lonjakan pengajuan cerai.
Meski begitu, Nur Djannah mengakui di beberapa kota, peningkatan memang terjadi. Ketika melakukan inspeksi mendadak di Indramayu, Nur Djannah menemukan data ada 100 perceraian setiap hari di kabupaten tersebut. Angka itu, sangat memprihatinkan. Daerah dengan angka perceraian tinggi di Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Reporter: bbn/net