Politik Uang Pemilu 2019 di Bali, Bukti Masih Ada Caleg Karbitan
Rabu, 17 April 2019,
07:28 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. Kabar adanya politik uang yang dilakukan beberapa calon legislatif (caleg) pada pemilihan umum (Pemilu) 2019 muncul di beberapa daerah di Bali.
[pilihan-redaksi]
Kabar politik uang pertama muncul di Desa Buduk, Mengwi-Badung. Kabar ini muncul melalui media online lokal, namun sayangnya dalam pemberitaan menggunakan narasumber anonim. Kedua, kabar politik uang muncul di Kabupaten Gianyar dan masih dalam proses penanganan tim Bawaslu Gianyar.
Kabar politik uang pertama muncul di Desa Buduk, Mengwi-Badung. Kabar ini muncul melalui media online lokal, namun sayangnya dalam pemberitaan menggunakan narasumber anonim. Kedua, kabar politik uang muncul di Kabupaten Gianyar dan masih dalam proses penanganan tim Bawaslu Gianyar.
Dua kasus ini mungkin hanya bagian dari fenomena gunung es dan upaya pengungkapan selalu terkendala bukti dan saksi. Namun perilaku politik uang menjadi petunjuk bahwa caleg yang melakukan merupakan caleg karbitan atau caleg produk instan.
Politik uang harus diakui sudah terjadi sejak lama, tetapi perilaku primitif tersebut masih bertahan hingga sekarang. Politik uang disebut prilaku primitif bukan karena sudah terjadi sejak dulu, tetapi juga karena prilaku tersebut tidak memperhatikan peraturan dan norma sosial yang ada. Politik uang menjadi indikator rendahnya moral caleg yang bertarung untuk memperebutkan posisi anggota dewan yang terhormat.
Pada sisi si penerima uang juga sama berperilaku primitif karena hanya berpikir untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek. Apalagi ketentuan tentang pemberian uang atau imbalan dalam Pemilu telah diatur dengan jelas pada pasal 523 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Politik uang adalah bentuk ketidak percayaan, baik ketidak percayaan pemilih terhadap caleg ataupun bentuk ketidak percayaan caleg akan dukungan pemilih di daerah pemilihannya. Pemilih menjadi tidak percaya terhadap caleg menyusul meningkatnya kasus-kasus korupsi yang melibatkan elit partai politik.
Sedangkan caleg merasa kurang percaya terhadap pemilih karena harus bersaing dengan rekan satu partai atau beda partai dalam satu daerah pemilihan, sehingga menggunakan cara singkat yaitu politik uang. Harapan caleg melalui politik uang yang dilakukan dapat menarik simpati karena sudah memberikan imbalan dalam bentuk uang. Jika politik uang ini tetap dipelihara maka kedepan caleg akan mengalami kerugian besar karena ongkos politik akan semakin meningkat akibat pendekatan transaksional yang berlanjut.
Padahal politik uang sebenarnya merupakan bentuk respon pemilih atas kegagalan caleg dan partai politik dalam meningkatkan kinerja dan citra di mata pemilih.
Politik uang selama ini identik dengan sebutan politik perut karena sering menargetkan warga miskin yang masih bermasalah dalam memenuhi kebutuhan pangan.
Bagi pemilih, politik uang dapat dipandang sebagai biaya ganti rugi karena saat proses pemilihan atau pencoblosan merupakan hari libur dan tidak bekerja. Hingga tidak jarang politik uang dipandang sebagai sebuah kompensasi akibat bekerja oleh pemilih. Apalagi uang merupakan sumberdaya yang sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada sisi lain bagi caleg, uang menjadi alat untuk menarik simpati guna kepentingan politik dan kekuasaan.
Umum diketahui jika politik uang paling rawan terjadi saat menjelang pencoblosan atau yang lebih dikenal dengan istilah serangan fajar atau pemberian uang saat subuh atau dini hari menjelang pencoblosan. Namanya juga serangan, tentu prakteknya dilakukan secara tersembunyi agar tidak diketahui oleh pengawas. Pada prakteknya upaya untuk mengungkap politik uang berupa serangan fajar sangat sulit dilakukan, karena pemberi dan penerima pada dasarnya mengetahui hukuman yang akan diterima jika ketahuan.
Dalam perkembanganya, bau politik uang di Bali sudah tercium sejak penetapan calon. Bentuknya menggunakan istilah dana punia. Sudah menjadi rahasia umum jika dalam masa perhelatan politik, istilah dana punia menjadi sebuah trend. Dalam sebuah artikel berjudul “Proses Politisasi Dana Punia Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Badung Tahun 2015 Di Desa Pecatu” yang dipublikasikan dalam E-Jurnal Politika Volume 1 nomor 1 tahun 2016 disebutkan jika konsep dana punia berpotensi dimanfaatakan untuk menyembunyikan kegiatan politik uang. Apalagi belum ada aturan yang tersurat untuk mengatur aktifitas dana punia selama hajatan pemilu.
Para penulis artikel I Putu Panji Bhaskara Wardana, I Ketut Putra Erawan, dan Piers Andreas Noak dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana menuliskan jika hampir di setiap hajatan politik banyak calon melakukan aktivitas dana punia. Jika dilihat dari aktivitasnya, dana punia berupa sumbangsih tulus ikhlas yang diberikan kepada masyarakat. Dana punia tidak tergolong politik uang jika tujuan memberikan dana punia kepada masyarakat tidak diiringi janji politik dan menginstruksikan untuk memilih calon tertentu.
Apabila ada calon melaksanakan dana punia di suatu tempat dengan ditambahkannya janji politik, sudah jelas aktivitas itu bukan dana punia melainkan politik uang. Dana punia dapat dijadikan sebagai alat untuk memperoleh dukungan dan suara masyarakat. Namun sang calon tidak secara blak-blakan untuk mengajak memilihnya setelah berdana punia. Kecenderungan yang terjadi calon menggunakan bahasa istilah “titip nama” kepada para masyarakat. Masyarakat tentu sudah mengerti maksud dari titip nama tersebut.
[pilihan-redaksi2]
Dalam praktek dana punia, selain para calon datang dengan inisiatif sendiri untuk berdana punia, ternyata ada permintaan dari masyarakat untuk mengunjungi pura-pura paibon dengan syarat membuat undangan. Dana punia dibutuhkan dengan alasan dana punia untuk keperluan upacara, perbaikan fasilitas pura dan lain-lain. Dana punia merupakan sebuah langkah kebaikan, tapi menjadi salah apabila terdapat kepentingan politik.
Dalam praktek dana punia, selain para calon datang dengan inisiatif sendiri untuk berdana punia, ternyata ada permintaan dari masyarakat untuk mengunjungi pura-pura paibon dengan syarat membuat undangan. Dana punia dibutuhkan dengan alasan dana punia untuk keperluan upacara, perbaikan fasilitas pura dan lain-lain. Dana punia merupakan sebuah langkah kebaikan, tapi menjadi salah apabila terdapat kepentingan politik.
Namun hal yang perlu dipastikan adalah pemilih memilih berdasarkan hati nurani dan bukan karena politik uang dalam kedok dana punia. Penggunaan istilah dana punia tentu sangat disayangkan, karena konsep dana punia yang berupa sumbangan tulus iklas telah disalahgunakan untuk mendapatkan dukungan guna kepentingan kekuasaan.
Penggunaan istilah dana punia untuk menyamarkan politik uang tidak saja melanggar aturan hukum positif, tetapi juga sebagai bentuk pelecehan terhadap kearifan lokal masyarakat Bali. Kedepan perlu ada kesadaran besama untuk tidak lagi menggunakan istilah dana punia untuk kepentingan politik. Selain itu perlu juga dibuatkan aturan terkait penggunaan istilah dana punia pada masa-masa pemilu. [bbn/editorial/tim-redaksi]
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: bbn/mul