search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Tradisi Mekotek, Peringatan Kemenangan Perang Kerajaan Mengwi di Blambangan
Minggu, 1 Maret 2020, 12:20 WITA Follow
image

beritabali.com/ badungkab.go.id

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, BADUNG.

Sejumlah tradisi unik  hadir di setiap perayaan hari keagamaan di Bali, salah satunya tradisi Ngerebeg atau dikenal dengan istilah mekotek yang digelar setiap perayaan hari raya Kuningan di Desa Munggu, Mengwi, kabupaten Badung, Bali. Selain dipercaya menolak bala, tradisi Mekotek sekaligus menjadi peringatan kemenangan perang kerajaan Mengwi saat mempertahankan wilayah kekuasaannya di wilayah Blambangan Jawa Timur.

Suara kulkul menjadi pertanda dimulainya tradisi ngerebeg atau yang lebih dikenal dengan tradisi Mekotek di desa Munggu, Mengwi, Badung hari Sabtu.  Usai menyelesaikan persembahyangan menyambut hari raya Kuningan di rumah masing-masing, ribuan kaum laki-laki terutama laki-laki dewasa di desa Munggu berkumpul di pura puseh desa adat setempat dengan mengenakan pakaian adat Bali madya serta melengkapi diri dengan membawa sebatang kayu pulet.  

Setelah ritual di pura desa usai, mereka selanjutnya berjalan kaki mengelilingi wilayah desa untuk melaksanakan tradisi ngerebeg atau mekotek. Kayu pulet yang dibawa umumnya memiliki panjang 3 meter yang pada ujungnya dihiasi tamyang sebagai simbol tameng serta plawa atau pandan berduri sebagai simbol tombak.

Saat rombongan tiba di tiap persimpangan jalan desa, maka tradisi Mekotek pun digelar. Masing-masing warga yang memegang kayu pulet, menghimpun diri menjadi beberapa  kelompok  untuk membentuk formasi berbentuk piramida atau gunungan.

Batang kayu coba disatukan sehingga menimbulkan suara tek-tek yang kemudian menjadi cikal bakal penyebutan tradisi Mekotek.  

Namun menyatukan ratusan batang kayu untuk membentuk formasi piramida ternyata tak semudah yang dibayangkan, selain membutuhkan kerjasama juga  perlu keseimbangan di seluruh sudutnya, sehingga  formasi piramida dari penyatuan puluhan kayu bisa terbentuk secara  sempurna.

Setelah ratusan kayu pulet membentuk formasi piramida, pada saat itulah seorang warga langsung naik ke atas puncak formasi kayu untuk memberi penyemangat atau komando bagi kelompoknya. Atraksi ini menjadi menarik karena selain beresiko sekaligus menjadi ajang uji nyali bagi warga.

Tradisi Mekotek telah diselenggarakan turun temurun sejak masa kejayaan kerajaan Mengwi yang dahulu istananya  berada di desa adat Munggu Mengwi. Awalnya tradisi mekotek merupakan penyambutan warga terhadap pasukan kerajaan Mengwi yang baru pulang usai memenangkan perang menghadapi kerajaan Blambangan.

"Acara penyambutan ini kemudian berkembang menjadi tradisi yang digelar secara rutin. Awalnya sarana yang digunakan saat tradisi mekotek menggunakan tombak, sehingga sempat dilarang ketika jaman penjajahan Belanda karena dianggap simbol pemberontakan. Setelah diadakan negosiasi, tradisi tersebut kembali diselenggarakan dengan menggunakan kayu pulet sebagai pengganti tombak,"jelas I Made Rai Sujana, Bendesa Desa Adat Munggu.

Selain sebagai acara penyambutan, tradisi Mekotek juga  diyakini menjadi sarana memohon keselamatan atau penolak bala, serta melindungi masyarakat dari roh jahat sekaligus memohon berkah kesuburan lahan pertanian di wilayah Mengwi.

Pada tradisi Mekotek,  ribuan warga dari 12 banjar adat di desa Munggu tak hanya membawa kayu pulet, tapi  juga mengusung tombak-tombak pusaka serta pusaka tamiang kolem atau tameng untuk dibawa mengelilingi desa.

Sejarah Hubungan Blambangan dan Bali

Tahun 1697 Blambangan ditaklukkan oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti, raja Buleleng di Bali Utara, mungkin dengan bantuan Surapati Raja Blambangan Prabu Tawang Alun dikalahkan dan untuk sementara Ki Gusti Ngurah Panji Sakti menunjuk perwakilannya untuk memerintah Blambangan sementara, I Gusti Anglurah Panji Sakti memberikan kepada Cokorda Agung Mengwi untuk menguasai Kerajaan Blambangan setelah menikah dengan putri Raja Mengwi tersebut.

Setelah Blambangan dalam kendali Mengwi, Badung Ditunjuklah keturunan Prabu Tawang Alun untuk memegang Kerajaan Blambangan yaitu Pangeran Danuningrat, di mana Prabu Danuningrat untuk mengikat kesetiaan ia beristrikan Putri Cokorda Agung Mengwi.

Sebelum menjadi kerajaan berdaulat, Blambangan termasuk wilayah taklukan Bali. Kerajaan Mengwi pernah menguasai wilayah ini. Usaha penaklukan Kesultanan Mataram terhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah yang menyebabkan mengapa kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk pada budaya Jawa Tengahan, sehingga kawasan tersebut hingga kini memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang berasal dari wilayah Blambangan (sumber: wikipedia)

Dilansir dari Tirto id, sebelum masuknya Islam ke Jawa, Blambangan merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Mengwi karena lokasinya yang memang tidak terlalu jauh dari Bali. Blambangan dan Mengwi hanya dipisahkan selat. Ketika wilayah ini diklaim Mataram, Mengwi tidak berani menentang frontal meskipun Mataram sebenarnya tidak pernah benar-benar mampu menguasai Blambangan.

Dengan lepasnya Blambangan dari Mataram, Mengwi kembali melakukan manuver agar bisa mengklaim wilayah itu lagi. Penguasa Mengwi memberikan izin kepada Inggris untuk mendirikan kantor dagang di Ulu Pampang, kota pelabuhan yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Blambangan sebelum runtuh pada 1580.

Mengwi menilai Blambangan sangat strategis dan menguntungkan. Selain dari sisi ekonomi dan perdagangan, Blambangan bagi Mengwi juga menjadi benteng terakhir untuk membendung masuknya pengaruh Islam ke Pulau Bali (Hadi Moh. Sundoro, Pangeran Rempeg Jagapati: Pahlawan Perjuangan di Tanah Blambangan, 2008: 23).

Sebaliknya, VOC pada mulanya menganggap wilayah ini tidak begitu penting (I Made Sudjana, Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVIII, 2001: 24). Karena itu, VOC tidak turun langsung ke Blambangan. Wilayah ini baru akan dikelola saat dibutuhkan nanti.

Selain itu, VOC juga tahu bahwa PB II bukan pemilik Blambangan yang sebenarnya, karena rakyat dan penguasa wilayah ini selalu menolak tunduk kepada Mataram. VOC tampaknya enggan membuang-buang waktu dan tenaga jika nantinya terjadi perlawanan dari rakyat Blambangan.

Namun, anggapan VOC tersebut kemudian berubah setelah Inggris ikut campur di wilayah Blambangan atas izin Kerajaan Mengwi pada 1766. Dan, dari sinilah Puputan Bayu yang menggemparkan itu nantinya terjadi.
 

Reporter: bbn/litbang



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami