Klarifikasi Petisi "Ahok for Bali 1"
Kamis, 4 Mei 2017,
18:03 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. Terkejut! Itulah kesan saya ketika mengetahui petisi “Ahok for Bali” yang saya gulirkan menjadi trending topic twitter secara nasional (hingga tgl 2 Mei 2017 memperoleh 7.258 dukungan). Terlepas dari keterkejutan saya, saya memahami mengapa hal ini bisa terjadi.
Disamping karena faktor Ahok yang media darling, peran buzzer pendukung uthopia khilafah memainkan peran penting. Kelompok ini berkepentingan untuk menjaga momentum dengan mengusung isu common enemy, dan sebagai alibi atas ‘dosa’ demokrasi yang telah mereka perbuat pada pilkada DKI Jakarta yang lalu.
[pilihan-redaksi]
Sinyalemen ini terlihat dari digorengnya ketidaksetujuan sebagian netisen terhadap gerakan ‘Ahok for Bali 1” yang sesungguhnya hal yang wajar dalam isu politik, dijadikan ‘barang’ untuk mem-framing intoleransi Bali. Jelas ini merupakan pledoi yang naif.
Toleransi orang Bali telah teruji oleh dan sepanjang sejarah. Secara formal, Bali pernah dipimpin oleh Gubernur non-Hindu, Alm. Sukarmen dalam rentang 1967 - 1978. Dalam bidang kemasyarakatan, tradisi pecalang turut serta dalam penjagaan masjid, bukanlah hal baru. Demikian pula dalam interaksi sosial kemasyarakatannya. Kulminasi dari rangkaian ujian tersebut terjadi pada tragedi bom Bali. Meski secara nyata Bali dikoyak oleh para teroris yang merupakan elemen pendukung dari uthopia khilafah, orang Bali tetap proporsional dalam merespon keadaan. Bahkan saking lunaknya, banyak kalangan berpendapat bahwa Bali menderita atas nama toleransi yang diusungnya.
Jadi jelas, bahwa framing intoleransi Bali sebuah hal yang tidak berdasar. Namun demikian, sebelum rangkaian kebohongan oleh kalangan bumi datar diterima sebagai sebuah kebenaran, sebagai inisiator petisi, saya perlu mempertegas kembali tujuan digalangnya petisi tersebut, yang barangkali tidak ditangkap secara jernih oleh semua kalangan.
Menjadikan Ahok sebagai gubernur Bali jelas merupakan hal yang tidak realistis. Selain karena tenaganya lebih dibutuhkan di tingkat nasional, Ahok pasti tidak akan tertarik untuk bermain di sungai dangkal seperti Bali. Perannya di tingkat nasional jelas lebih dibutuhkan utamanya setelah 2019.
Bagi yang menyimak secara seksama setiap kalimat dalam petisi tersebut, mereka sudah barang tentu faham bahwa ia merupakan sebuah satire (sindiran) dalam konteks politik lokal maupun nasional, sekaligus ayakan untuk memetakan kepentingan antar pihak; baik individu, organisasi maupun media.
Dalam konteks kepemimpinan lokal, banyak persoalan dalam masyarakat belum dapat dijawab secara tuntas oleh para pemimpin lokal – yang jika saya ceritakan secara detail dapat dijilid menjadi sebuah buku. Dengan segala potensinya, Bali seharusnya bisa ‘terbang’ – seperti bahasa yang saya gunakan pada satire petisi sebelumnya.
Jalan ‘berukir’ di Tabanan, pasar yang terbakar dua kali di Bangli, anak-anak yang tidak mendapat akses bacaan dan arena bermain, pungutan liar oleh preman pada toko-toko di Denpasar, hingga wisatawan yang dipalak di terminal bus adalah deretan peristiwa yang seolah taken for granted dan menghiasi kehidupan masyarakat di Bali.
Belum lagi pelibatan preman dalam setiap perhelatan politik lokalnya. Hal diatas menggambarkan, betapa Bali kekurangan pemimpin yang mempunyai kapasitas dan dedikasi untuk - yang dalam bahasanya Ahok - mengadministrasi keadilan sosial masyarakatnya. (Pemimpin kabupaten di) Bali seharusnya malu pada NTB, Batang, Purwakarta, Kulon Porgo dan daerah kecilnya yang mampu berbuat banyak meski dengan potensi daerah yang jauh lebih rendah.
Dalam konteks nasional, petisi ini memberikan gambaran kita sebagai sebuah bangsa - seperti yang pernah disampaikan oleh Anies Baswedan yang diingkarinya sendiri - bahwa upaya untuk merajut tenun kebangsaan belumlah usai. Gerakan kaum yang hendak mendirikan negara agama yang selama ini mengandalkan strategi bawah tanah, bukan hanya telah berani menunjukkan jadi dirinya, bahkan lebih jauh telah mengambil alih simfoni kebangsaan atas nama demokrasi, seperti yang kita saksikan pada pilkada DKI Jakarta yang lalu.
Yang lebih mencengangkan lagi adalah, bahwa penganut ideologi kanan ini telah berhasil mencekoki kepala sebagian mahasiswa kita yang seharusnya menjadi ujung tombak pembangunan bangsa di masa depan. Deklarasi ribuan mahasiswa di Aula IPB awal tahun ini merupakan sekelumit bukti bahwa ancaman pluralisme dan disintegrasi bangsa kian berderang.
Dalam konteks lokal Bali, lagi-lagi kita (Bali) ketinggalan kereta. Respon para elit politik Bali terhadap isu yang strategis ini sangat minim bahkan nyaris tidak terdengar. Mereka lebih asik bertikai seputar hal teknis; kasta yang lebih berhak dalam muput yadnya, hingga pasupati partai di Pura. Padahal, sebagai entitas minoritas, kitalah yang paling terimbas oleh tergerusnya pluralitas di negeri ini.
Selain untuk tujuan diatas itu, petisi tersebut penting sebagai pengayak/penyaring antar pihak dengan berbagai kepentingannya; baik individu, organisasi maupun media yang terlihat samar dalam pilkada DKI. Dari framing media serta komentar para netisen, kita dapat memetakan kepentingan di belakangnya. Para pihak yang berafiliasi dengan pengusung ide negara agama yang dengan sengaja menggoreng isu menjadi makin memunculkan diri. Jadi, seberapa orang teman anda yang sudah migrasi ke bumi yang datar? Silahkan sensus sendiri!
Quo vadis elit (politik) Bali?
Para ahli politik tentu bisa memberi uraian secara lebih sahih. Dalam pandangan sederhana saya yang awam, (Bali tidak mempunyai pemimpin hebat) bukan karena ketiadaan putra Bali yang mempunyai kecakapan dan kapitasitas kepemimpinan yang mumpuni.
Dari sekian banyak penyebab, oligarki politiklah membuat mereka tidak berdaya dalam memberikan sumbangsih tenaga dan fikiran. Oligarki? Sistem demokrasi yang kita agung-agungkan telah terpisah dari rohnya yang demokratis. Seleksi yang hanya berdasarkan kedekatan dengan Ketua Partai di Jakarta dengan konsekuensi mahar menjadi penyebab kemandulan bagi munculnya pemimpin yang hebat di Bali. Akibatnya, munculah pemimpin moyo (loyo), nyaru-nyaru (tidak peduli) dan bedag ditu (semau gue). Dalam bahasa saya, demokrasi yang kita alami saat ini adalah oligarki yang mengatasnamakan demokrasi.
Untuk saat ini, menyadari betapa penting dan genting ancaman kita sebagai entitas (yang kebetulan) minoritas, tidak pada tempatnya untuk berdebat dan saling melemahkan. Ketika kontemplasi tidak cukup, diperlupan gerakan dengan elemen bangsa yang masih setia dengan komitmen para leluhur dan founding fathers kita.
Untuk yang satu ini, NU dan Banser adalah saudara tua tempat kita berkeluh kesah. Mereka telah memberi contoh pada pilkada DKI mereka bukan membela Ahok, tapi untuk menegaskan bahwa mereka adalah penjaga terakhir NKRI. Sama seperti ide dasar petisi ini, bukan tentang Ahok untuk jadi Gubernur Bali. Sama sekali bukan. Melainkan, bagaimana membangunkan para elit Bali yang terlelap dan segera bangkit untuk menjaga spirit ke-Bhineka-an. Nah, jika isyaratnya sudah sedemikian benderang, siapakah yang akan mengisiasi gerakan ini? Durusang Bli!
Salam Indonesia dari Perth, 28 April 2017
oleh: Wika Ganesha
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: -