Gelaran PKB ke-40 Dinilai Kehilangan Taksu dan Terkesan "Onani"
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. Gelaran Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40 dinilai kehilangan taksu, karena seniman yang tampil cenderung terpaksa demi gengsi daerah. Pada sisi lain pementasan di PKB juga dinilai terkesan "onani", dimana seniman yang pentas di atas panggung hanya ditonton oleh keluarga dan pendukung yang berasal dari satu banjar atau desa. Penilaian tersebut disampaikan Sekretaris tim pengawas independen PKB ke-40, I Nyoman Wija SE Ak, M.Si saat dikonfirmasi di Denpasar pada Minggu (8/7/2018).
[pilihan-redaksi]
Wija yang sering disebut-sebut sebagai kritikus budaya mengungkapkan hilangnya taksu terjadi bukan hanya karena seniman yang tampil cenderung terpaksa, tetapi juga karena pagelaran yang ditampilkan tidak sesuai dengan tema yang diusung. Walaupun harus diakui terdapat yang penampilan pagelarannya bagus, namun jumlahnya sangat sedikit.
“Untuk pelestarian relatif bagus tapi untuk pencetakan karakter dan moralitas berbudaya masih rendah, dari sajian penampilan cukup menarik tapi manfaatnya tak mampu menghaluskan Budi pekerti,” papar pria yang kini masih aktif sebagai wartawan Radar Bali -Jawa Pos.
Hal yang cukup memprihatinkan menurut Wija adalah pementasan di arena PKB yang cenderung terkesan "onani". Terkesan "onani" karena seniman yang tampil hanya ditonton oleh keluarga para seniman sendiri dan para pendukung yang berasal dari satu banjar atau satu desa. Pengunjung yang datang ke arena PKB juga cenderung hanya berkunjung ke stand pameran dan hanya beberapa kemudian yang menonton pementasan seni.
“Jangan salah membludak saat gong kebyar, yang menonton itu relatif adalah anggota banjar yang pentas, keluarga seniman yang pentas, hanya 10 persen pengunjung umum. Itu pun yang datang sambil lalu setelah lihat stand pameran kerajinan, ini hasil pengamatan langsung di lapangan,” ujar pria kelahiran 3 Juni 1974 tersebut.
Wija menyebutkan bahwa pengerahan warga banjar atau komunitas untuk memberi dukungan merupakan bagian dari politik budaya yang pada akhirnya adalah adu gengsi antar kelompok seniman. Adu gengsi terjadi demi menjaga nama kelompok seni ataupun demi menjaga nama banjar atau desa. Tentu saja seniman akan merasa kurang bersemangat untuk pentas jika penontonnya sedikit atau tidak ada penonton.
Masyarakat secara umum malas datang ke PKB karena keterbatasan lahan parkir, sedangkan penonton yang datang relatif terpaksa karena untuk mendukung saudara yang pentas. Penonton yang datang biasanya juga dari komunitas dan Banjar desa Pakraman yg mewakili.
“Jika banjar datang biasanya ada sanksi sosial jika tak hadir, Bagaimana menikmati seni jika kebutuhan pelayanan publik yang prima terabaikan. Lahan parkir tak pernah dipikirkan untuk berbenah,” ungkap pria yang juga merupakan dosen Universitas Teknologi Indonesia, Nusa Dua.
Wija menambahkan bahwasannya faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap taksu dari para seniman saat pentas di panggung. Dimana Dampak lingkungan adalah bagian dari taksu yang sering terabaikan. Sebagai sebuah contoh seniman sering mengalami kesulitan dalam mencari tempat parkir, begitu juga dengan para pengunjung PKB.
“Ruas jalan dan trotoar untuk parkir, padahal PD parkir tak boleh dan berani memungut parkir di jalan demi kelancaran. Tapi atas nama adat melawan hukum negara apapun dihalalkan,” kata Wija yang juga merupakan Sekretaris Pramusti Bali
Menanggapi penilaian pementasan yang kehilangan taksu, Koordinator Sanggar Sangita Mredangga, Jembrana, Ida Bagus Sulinggih mengakui bahwa saat tampil tentu ada rasa grogi dan was-was. Munculnya suara sumbang terkait pementasan di PKB karena belum terlibat dalam proses penggarapan sebuah pementasan dan hanya melihat hasil semata.
“Taksu pada masing seniman berbeda, kami dari Jembrana, orang Jegong tapi mampu menghadirkan pagelaran palegongan, itu sudah luar biasa, tapi yang terpenting mampu membawakan karakternya, kami berupaya bagaimana karakter pelegongan kami tampilkan, kalau Jegong karakternya keras, tapi kami bisa menghadirkan palegongan dengan karakter lembut,” jelas pria yang merupakan pendiri Sanggar Sangita Mredangga pada tahun 2000.
Ketika dikonfirmasi terkait pementasan yang terkesan "onani", Sulinggih yang merupakan PNS di Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Jembrana menyebutkan bahwa kehadiran keluarga dan teman satu banjar merupakan bentuk dukungan dalam upaya memberi motivasi bagi seniman yang pentas. Mengingat tanpa dukungan keluarga dan para pencinta seni lainnya tentu pementasan juga tidak maksimal. Guna mendapatkan dukungan tersebut tidak jarang harus menggalang dukungan dengan memanfaatkan media sosial.
"Menggalang dukungan melalui medsos, tontonlah kami, berikanlah motivasi supaya kami tampil baik, tanpa ada orang nonton bagaimana ekspresi bisa nyambung, kalau sudah ramai orang menonton kan lain taksunya,” papar pria kelahiran Desa Batu Agung, Jembrana pada 12 November 1968.
Pemerhati Budaya I Made Nurbawa memaparkan bahwa taksu adalah penganugrahan atau tuntunan leluhur terhadap seseorang atau suatu aktivitas makro maupun mikro. Sedangkan seni di PKB lebih dominan seni sebagai sebuah industri. Jadi seni yang ditampilkan merupakan tontonan dan bukan sebagai wewalian atau tuntunan berdasarkan ajaran suci.
“Karena PKB sudah dijadikan agenda rutin, sehingga PKB Nampak sebagai rutinitas saja . PKB di Taman Budaya mungkin tidak terlalu kentara, tetapi PKB di Kabupaten sebelum ke provinsi banyak yang asal-asalan,” ungkap ayah satu putri tersebut.
Menyinggung harapan Presiden RI Joko Widodo agar masyarakat Bali dapat menjaga Taksu Bali, pria yang merupakan mantan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali tersebut menyatakan bahwa intinya presiden ingin seni dan berkesenian benar-benar berangkat dalam rangka memupuk pengetahuan dan kesadaran akan nilai-nilai kebenaran.
“Banyak orang di bawah sadarnya ingin metaksu, tetapi tidak tahu caranya, dari mana, dimana dan kemana?,” tegas Nurbawa.
Sebelumnya Presiden RI Joko Widodo dalam sambutannya yang dibacakan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan RI Prof Dr. Muhadjir Effendy, MAP, meminta agar masyarakat Bali dapat menjaga Taksu Bali agar jangan sampai taksu Bali hilang ditengah era modern, era milineal dan era serba digital. Presiden menyampaikan bahwasannya dibalik proses penciptaan karya seni ada semangat, ada jiwa, ada api yang disebut Taksu. Dimana dalam setiap karya seni kita akan dapat merasakan jiwa, semangat dan dedikasi yang dicurahkan oleh sang kreatornya.
Presiden Jokowi juga memberikan apresiasi terhadap pandangan orang Bali yang melihat seni sebagai sarana untuk menyama braya. Mengingat dengan menyama braya akan dapat mempererat tali persaudaraan, persahabatan dan persatuan. Maka seni dan budaya harus mewarnai arah dan kerja pembangunan bangsa dan pembangunan kedepannya tidak hanya membangun infrastruktur fisik tetapi juga infrastruktur budaya. Harapannya seni dan budaya bisa menjadi jembatan dan sekaligus penggerak untuk terus bekerja merawat persatuan bangsa.
Sedangkan Gubernur Bali Made Mangku Pastika menyampaikan bahwa Pemerintah Provinsi Bali telah melakukan berbagai upaya pembinaan seni budaya, salah satunya melalui penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali, yang telah diawali dengan penyelenggaraan kegiatan serupa di tingkat kabupaten / kota se Bali. PKB merupakan sebuah wahana untuk mempresentasikan hasil karya seni unggulan dan keagungan peradaban dengan ruang lingkup kegiatan yang berskala lokal, nasional, dan internasional .
"PKB ini sangat strategis untuk merevitalisasi nilai kesenian sehingga akan tetap hidup dan berfungsi di masyarakat ditengah tantangan global," jelas Pastika.
Penilaian tak metaksu ditanggapi santai oleh Wakil Ketua Panitia PKB ke-40, Komang Astita. Menurut Astita yang baru saja pensiun sebagai dosen di Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, taksu pada setiap pementasan dan pada setiap seniman itu relatif dan tidak bisa digeneralisasi. Apalagi taksu merupakan sesuatu yang bisa muncul dan tidak muncul.
“Mana yang tidak bertaksu, kalau mau dikaji harus ada bukti mana yang tidak metaksu, kalau itu memang sekadar pikiran orang, masing-masing punya pikiran, kalau melihat taksu itu tidak bisa digeneralisasi dan kalau melihat metaksu itu juga tidak sama bagi orang yang menyajikan dengan yang menonton,” ucap Astita yang juga merupakan Ketua Listibya Bali.
Menurut Astita, pementasan dengan sistem lomba juga tidak dapat dihubungan dengan pementasan tersebut metaksu atau tidak. Lomba pada dasarnya merupakan salah satu metode untuk membina, melestarikan dan mewariskan kesenian kepada generasi penerus. Metode lomba juga sudah dilakukan sejak lama, walaupun bisa jadi seniman yang sudah senior sekalipun tidak mampu menunjukkan taksu saat lomba karena tidak siap.
Terkait penilaian pementasan seniman yang cenderung terkesan "onani" dalam PKB, Astita menjelaskan bahwa penonton tidak bisa diatur. Jika pementasan hanya ditonton oleh keluarga seniman, itu karena keluarga tersebut juga merupakan bagian dari masyarakat. Pada posisi ini keluarga memberikan dukungan, karena upaya meneruskan kesenian harus dimulai dari tingkat keluarga.
“Justru mereka itu yang akan mewariskan, memberikan dorongan semangat, spirit dan kelanjutan itu bisa ada kalau keluarga itu memang serius untuk itu, harus dilihat dari segi positifnya,” ujar pria yang kini juga sebagai prajuru di Banjar Kaliungu Kaja, Denpasar.
[pilihan-redaksi2]
Dikonfirmasi terkait kondisi parkir di lingkungan arena PKB, Astita mengakui bahwa masalah parkir belum tertangani secara baik, karena belum adanya ruang yang cukup untuk parkir. Selama ini pemanfaatan rumah masyarakat di sekitar Taman Budaya sangat membantu mengatasi permasalahan parkir. Begitu juga panitia PKB hanya mempunyai kewenangan pengaturan parkir di wilayah Taman Budaya.
Evaluasi terhadap pelaksanaan PKB tentu perlu terus menerus dilakukan, agar penyelenggaraannya semakin baik. Kritik dan saran tentu menjadi bagian dalam upaya melakukan evaluasi. Kritik dan saran yang membangun tentu sangat dibutuhkan dalam setiap evaluasi. Evaluasi tentu juga harus dilakukan dengan indikator dan parameter yang terukur sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dalam melakukan perbaikan. [bbn/muliarta]
Reporter: bbn/mul