Tanda 'Kiamat' Makanan Gegara Putin Makin Nyata, PBB Teriak
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DUNIA.
Ancaman "kiamat" makanan makin melebar. Keinginan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk mundur dari Black Sea Grain Initiatives (Perjanjian Biji-bijian Laut Hitam) membuat khawatir.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengungkapkan rasa frustrasi atas lambannya pembicaraan perjanjian itu. Hal ini, menurutnya, telah menurunkan pasokan makanan global.
Menurut data PBB, ekspor makanan melalui koridor kemanusiaan maritim itu anjlok dari puncak 4,2 juta metrik ton pada Oktober 2022 menjadi hanya 1,3 juta metrik ton pada Mei. Hal tersebut menandai volume terendah sejak dimulainya inisiatif tahun lalu.
"Ini mengakibatkan berkurangnya pergerakan kapal yang masuk dan keluar dari pelabuhan Ukraina," kata juru bicara Sekjen PBB Farhan Haq dalam sebuah pernyataan, Selasa waktu setempat, dikutip Rabu (21/6/2023).
"Menyebabkan penurunan pasokan bahan makanan penting ke pasar global," tegasnya dimuat Reuters dan The National News.
Perlu diketahui, Black Sea Grain Initiatives pertama kali diberlakukan pada Juli 2022 dan diperbarui secara bertahap. Ini memungkinkan ekspor biji-bijian dikirim dari pelabuhan Laut Hitam tertentu seiring masih memanasnya perang Rusia dan Ukraina.
Perjanjian yang diinisiasi PBB dan Turki itu, menjamin pengiriman jagung, gandum, jelai serta minyak bunga matahari Ukraina, yang sebelumnya diblokade pasukan Rusia di awal invasi Februari 2022. Perlu diketahui, akibat penutupan itu, harga pangan dunia sempat mencetak rekor tertinggi sepanjang massa di Maret 2022.
Secara rinci, ekspor Ukraina diperbolehkan melalui tiga pelabuhan Odessa, Pivdennyi, dan Chornomorsk. Rusia sendiri mendapat jaminan tak akan dikenai sanksi khususnya bagi pengiriman produk pertanian dan pupuk dari Moskow.
Namun dalam pernyataan terbaru pekan lalu, Rusia mengatakan perjanjian tak menguntungkan negeri itu. Sanksi Barat atas perang Rusia di Ukraina, tetap menimbulkan tantangan keuangan, logistik, dan asuransi untuk pengiriman produk pertanian dan pupuk.
Menteri Rusia meminta penghapusan hambatan ekspor pupuknya, seperti memberikan akses kepada perusahaan BUMN, Bank Pertanian Rusia, untuk kembali ke sistem pembayaran internasional Swift. Putin juga menegaskan tubuna awal ke negara miskin tak tercapai, karena pengiriman biji-bijian Ukraina lebih banyak ke Rusia.
"Mr Guterres meminta semua pihak untuk melakukan yang terbaik untuk memastikan kelanjutan kesepakatan, yang telah membantu meringankan krisis pangan yang menghancurkan di sejumlah negara berkembang," jelasnya.
"Ini sangat kritis sekarang karena panen biji-bijian baru dimulai di Ukraina dan Rusia," tambahnya lagi.
Mengutip data United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD), Ukraina dan Rusia adalah lumbung pangan dunia. Kyiv khususnya, berkontribusi terhadap 16 persen jagung global, dengan gandum sebanyak 10 persen dan minska bunga matahari 49 persen, sebelum perang terjadi.
Jagung Ukraina disalurkan ke negara maju dan berkembang. Sementara gandum ke negara berkembang dan kurang berkembang.
Sebelum perang, tip bulan ekspor biji-bijian Ukraina mencapai 4 juta ton per bulan, dengan 6 juta ton di musim gugur. Namun saat ini pengiriman hanya 1 hingga 1,5 juta ton per bulan.(sumber: cnbcindonesia.com)
Editor: Juniar
Reporter: bbn/net