Pembangunan Desa Wisata Jatiluwih Mulai Meninggalkan Prinsip Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, TABANAN.
Beritabali.com, Tabanan. Pembangunan pariwisata di Desa Wisata Jatiluwih, Tabanan sudah mulai meninggalkan prinsip-prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan. Padahal seharusnya pembangunan pariwisata harus tetap memperhatikan usaha-usaha pelestarian lingkungan alam, kelestarian kehidupan sosial budaya masyarakat lokal dan memberikan manfaat ekonomi masyarakat lokal secara merata. Demikian terungkap dalam artikel ilmiah berjudul “Konsep Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan (Kasus : Dampak Pembangunan Pariwisata di Desa Jatiluwih Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan)” yang dipublikasikan dalam Jurnal Kepariwisataan, Volume 16 Nomor 2 tahun 2017.
Peneliti dari Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali, Teguh Hadi Sukarno menuliskan terdapat 3 aspek yakni aspek melestarikan lingkungan alam, aspek sosial budaya dan pemberian manfaat ekonomi kepada masyarakat yang belum terpenuhi. Dilihat dari aspek lingkungan, terdapat bangunan villa yang belum mempunyai izin, berlokasi diantara Pura Petali dengan Pura Bhujangga, yang dekat dengan hutan lindung. Hal ini tidak memperhatikan/melanggar RTRW dan zonasi termasuk boleh tidaknya membangun di wilayah Warisan Budaya Dunia.
Sedangkan dari aspek budaya terdapat beberapa kesenian tradisional yang berpotensi untuk dipertontonkan kepada wisatawan di Desa Jatiluwih yakni : sekeha Gong, sekeha Angklung, Jogged, Wayang dan tari sacral Baris Memedi. Namun patut disayangkan, potensi-potensi ini sama sekali tidak dikemas dalam satu paket wisata untuk konsumsi wisatawan yang mengunjungi Desa Wisata Jatiluwih sebagai obyek daya tarik wisata alternatif.
Ditinjau dari aspek ekonomi, tidak adanya incentif bagi petani atau subak, sehingga tidak bisa menyalahkan petani apabila terjadi alih fungsi lahan persawahan menjadi bangunan villa, penyosohan beras dan lahan peternakan yang lebih menjanjikan. Para petani merasa terus merugi karena hasil panen yang rendah dibandingkan dengan biaya produksi dan pembelian pupuk dan ditambah lagi para kelompok tani / subak merasa tidak mendapatkan keadilan dalam pembagian hasil pemasukan dari kegiatan pariwisata.
Partisipasi masyarakat Desa Wisata Jatiluwih terhadap pembangunan pariwisata sangat rendah karena hanya sampai pada tahapan partisipasi pasif (masyarakat hanya mempunyai peran pasif /sebagai penonton) dan Participation by Material Incentives (ikut bekerja dalam pembangunan). Partisipasi masyarakat belum sampai pada tahapan yang lebih tinggi yaitu functional participation (berperan dalam pembangunan), interactive participation (berperan sebagai mitra dalam pembangunan) ataupun pada tahap self-mobilisation (menentukan dan mempunyai kewenangan dalam pembangunan yang sedang dilaksanakan di daerahnya sendiri). [bbn/Jurnal Kepariwisataan/mul]
Reporter: bbn/mul