search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Hasrat Kepengaturan Desa Adat
Senin, 7 Desember 2020, 22:30 WITA Follow
image

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Ring Bali sampun kaloktah
Wenten desa maka kalih
Desa dinas desa adat
Sami pada makta sulur
Nyulur indik kesukertan
Yan upami maka kalih marabian

Desa dinas sane lanang
Pinaka I aji yukti
Ngayah ring guru wisesa
Ngamargian sapitutuh
Ring desa adat I biyang
Ngardi trepti
Tunggal ring pasemetonan

Ring kahuripan punika
Desa sane maka kalih
Prajurune patut tatas
Nenten pacang pati kaplug
Santukan nuntun I krama
Ngeranjing kalih
Mewasta dados kelihan

(Pupuh Ginada dari Geguritan Desa Adat di Bali oleh Ni Made Sri Arwati, MPLA Bali, 1990/1991)

Pupuh, nyanyian tradisional Bali di atas mengisahkan bagaimana dua desa yang ada di Bali hingga kini, desa adat dan dinas dinas (negara), diibaratkan sebagai sepasang suami istri. 

Sang suami yaitu desa dinas mengabdi kepada guru wisesa yaitu pemerintah. Tugasnya adalah menjalankan kewajiban menjaga ketertiban sesuai dengan perintah negara. Sang ibu adalah desa adat yang menciptakan kesatuan dan kedamian berlandasan adat, agama, dan budaya diantara sesama krama (warga) masyarakat Bali. 

Kedua desa tersebut harus hidup berdampingan sehingga menjadi penuntun warga menuju ketertiban. Secara simbolik relasi harmonis tersebut disebutkan bahwa desa-desa yang ada di Bali memiliki keberagaman dresta (adat istidat) dan cara menjalankannya. 

Sementara negara betugas untuk mengatur tata kelola keberagaman desa tersebut. Hal inilah yang sering disebut dengan Desa Mawacara, Negara Mawatata. 

Imajinasi keharmonisan kedua desa tersebut memiliki akar sejarah yang panjang. Perdebatan dan pasang surut dualitas pemerintahan di Bali telah berlangsung sejak masa pra-kolonial. 

Sebelum bernama desa adat seperti sekarang ini, berdasarkan catatan prasasti yang ditemukan di Bali, komunitas desa awalnya disebut dengan istilah Karaman. 

Pada masa pra-Hindu, masyarakat hidup dalam satu ikatan kesatuan yang disebut dengan Wanua. Satu wanua dengan luas wilayah tertentu merupakan satu kesatuan hukum dibawah pimpinan Sanat, Tuha-tuha atau talaga. Sanat artinya seperti Tuha dan Talaga yakni yang dituakan. 

Wanua atau karaman sumber daya yang sangat luar biasa bagi kerajaan-kerajaan di Bali. Desa-desa tersebut adalah tempat sumber daya manusia yang diperlukan untuk menopang kekuasaan kerajaan (Dharmayuda 1995, 28- 29; Goris 1954; Nordholt 2006). 

Hasrat Mengatur

Berbagai kebijakan yang mencengkram desa adat tidak bisa dilepaskan dari kehendak untuk memperbaiki atau pemberdayaan yang dilakukan oleh negara. Kehendak untuk memperbaiki diinisiasi oleh kuasa (negara dengan berbagai perangkatnya), apparatus (aparat) dan kelompok kepentingannya. 

Berbagai kebijakan yang diperuntukkan kepada desa adat diletakkan dalam kerangka kepengaturan. Namun satu hal penting patut dipikirkan terutama berkaitan dengan imajinasi, terutama berkaitan dengan bayangan intervensi yang dilakukan oleh negara terhadap desa adat (Prahara, 2018).

Perspektif ini berangkat dari kritik yang diungkapkan oleh Ferguson (1990) bahwa pembangunan dengan penekanan pada kebijakan program-program teknisnya telah mendepolitisasi masyarakat. 

Intervensi pembangunan telah mereduksi kompleksitas kehidupan masyarakat beserta permasalahannya menjadi hanya permasalahan-permasalahan teknis semata. Teknikalisasi masalah dalam pembangunan inilah yang kemudian menjadi basis menguatnya rezim para ahli.    

Kepengaturan diterjemahkan melalui seperangkat aturan dan pelaksananya, yaitu para apparatus negara dan jaringan yang bertujuan mulia. Tujuannya tersebut adalah keinginan untuk memperbaiki (the will to improve) dari situasi yang dianggap mengalami “kesalahan”. 

Oleh sebab itulah ada niat untuk usaha memperbaikinya. Sayangnya kehendak untuk memperbaiki tidaklah setulus yang kita kira. Kehendak untuk memperbaiki terletak di dalam gelanggang kekuasaan. Niat tersebut tidak berada di ruang kosong yang steril dari kekuasaan.   
Merujuk kepada studi Li (2012:11) yang mengutip filsuf Michael Foucault, dengan tajam mengungkapkan bahwa: 

Kepengaturan adalah “pengarahan perilaku” yakni upaya mengarahkan perilaku manusia dengan serangkaian cara yang telah dikalkulasi sedemikian rupa. Berbeda dengan pendisiplinan yang bertujuan memperbaiki perilaku melalui pengawasan ketat dalam kurungan (penjara, rumah sakit jiwa, sekolah), kepengaturan berkepentingan dengan peningkatan kesejahteraan orang banyak. 

Niat baik kepengaturan dikemas dengan bertujuan untuk menjamin dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perbaikan keadaan hidup mereka, peningkatan kemakmuran, usia harapan hidup, jaminan kesehatan, dan lain sebagainya. Oleh sebab itulah disebutkan bahwa kepengaturan bekerja dengan mengarahkan minat dan membentuk kebiasaan, cita-cita, dan kepercayaan.

Rasionalitas kepengaturan adalah merumuskan “jalan paling tepat untuk menata kehidupan manusia” dalam rangka mencapai bukan satu tujuan dogmatik, melainkan “serangkain hasil akhir yang spesifik,” yang diraih melalui “berbagai taktik multibentuk”. 

Kalkulasi pun diutamakan di sini, karena kepengaturan menuntut dijabarkannya “cara yang tepat”, diprioritaskannya “hasil akhir” dan disesuaikannya taktik demi tercapainya hasil optimal. 

Kalkulasi, pada gilirannya, menuntut agar semua proses yang akan diatur harus digambarkan dalam istilah-istilah teknis. Baru setelah itu rencana perbaikan yang pas dapat dirumuskan (Li, 2012: 11-13). 

Pada level policy (kebijakan), para penguasa merumuskan kebijakan dipandu oleh rezim para ahli kepengaturan. Para pejabat publik, dalam konteks artikel ini adalah Gubernur Bali, sadar betul telah menerapkan teori pilihan rasional (rational choice theory). 

Basis argumentasi dari teori ini adalah bahwa seluruh rangkaian kebijakan dilatari oleh kepentingan indivisi pemimpin dalam mempertahankan kekuasaannya. Teori pilihan rasional pada level individu menyatakan bahwa kepentingan dan motivasi individu selalu menyetir segala tindakan yang akan diambilnya, dengan terlebih dahulu menghitung peluang keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh dari tindakan yang diambil. 

Semua inidividu berwatak rasional dalam mengambil tindakan. Perspektif penting lainnya adalah bahwa individu memiliki otonomi dalam mengambil langkah-langkah yang mendukung kepentingannya sendiri (Savirani, 2007: 94). 

Merujuk pada studi penting yang dilakukan Gaddes (1993), ketika seorang terpilih di puncak kekuasaan eksekutif, ada paling tidak tiga hal yang akan ia lakukan yaitu: pertama, memastikan bahwa ia akan bertahan setidaknya dalam periode kepemimpinannya, kedua, menciptakan mesin politik yang loyal dan akan mendukungnya, dan ketiga, menciptakan pemerintahan yang efeketif. 

Pemerintahan yang efektif berarti pemerintahan yang mampu melakukan fungsi pelayanan pada masyarakat, regulasi dan fungsi kontrol.

I Ngurah Suryawan, Antropologi/Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, FISIP-Universitas Warmadewa. Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).       
 

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami