search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Pemerintah Resmi Naikkan Cukai Rokok 12,5%
Jumat, 11 Desember 2020, 15:05 WITA Follow
image

beritabali/ist

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Pemerintah resmi menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok dengan rata-rata besaran 12,5 persen yang mulai berlaku Februari 2021.

Dengan begitu, ini akan memberikan kesempatan pada Direktorat Jenderal Bea Cukai dan industri untuk melakukan persiapan mulai dari pencetakan cukai hingga penyesuaian tarif baru dalam dua bulan ke depan.

“Jajaran Bea Cukai akan membentuk satuan tugas untuk melayani terkait dengan penerbitan dan penetapan pita cukai dengan tarif baru ini,” kata Menkeu seperti dikutip liputan6.com, Jumat (11/12/2020).

Menkeu menjelaskan, kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang saat ini masih dalam penyusunan dan akan segera dirilis.

"Direktorat Jenderal Bea dan Cukai akan memastikan bahwa proses transisi dari kebijakan CHT yang akan mulai berlaku 1 Februari 2021 akan berjalan tanpa hambatan," jelas dia.

Melalui kebijakan ini, harga rokok akan semakin mahal. Di mana affordability indeks naik dari 12,2 persen menjadi antara 13,7 persen hingga 14 persen.

Dengan demikian, diharapkan prevalensi merokok pada anak-anak dan wanita hingga masyarakat umum bisa berkurang.

"Kenaikan cukai hasil tembakau ini akan sebabkan rokok menjadi lebih mahal, sehingga sehingga makin tidak dapat terbeli," kata Menkeu.

Naiknya Cukai Rokok dari Sisi Pengusaha

Pengusaha yang tergabung dalam Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok (GAPPRI) menilai keputusan pemerintah menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk produksi sigaret putih mesin (SPM) ataupun sigaret kretek mesin (SKM) pada 2021 tidak wajar dilakukan saat pandemi Covid-19.

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok (GAPPRI) Henry Najoan, mengatakan penilaian itu karena kemampuan daya beli masyarakat yang masih tertekan serta kenaikan cukai lebih tinggi dari inflasi nasional.

"Tidak wajar kenaikan ini, sebab kinerja industri sedang turun akibat pelemahan daya beli karena ada pandemi dan kenaikan cukai sangat tinggi di tahun 2020 kemarin. Apalagi saat ini angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi masih minus," ujar dia, Kamis (10/12/2020).

Saat ini, industri hasil tembakau (IHT) masih belum mampu menyesuaikan dengan harga jual maksimal akibat kenaikan cukai tahun 2020 sebesar 23 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) sebesar 35 persen.

Sementara harga rokok yang ideal yang harus dibayarkan konsumen pada tahun ini seharusnya naik 20 persen, tetapi baru mencapai sekitar 13 persen.

"Artinya masih ada 7 persen untuk mencapai dampak kenaikan tarif 2020. Sehingga, perkumpulan GAPPRI mengaku keberatan dengan kenaikan tarif cukai 2021 yang sangat tinggi tersebut," terangnya.

Selain itu, nilai kenaikan cukai rokok SPM dan SKM yang terlampau tinggi di tahun 2021 diperkirakan akan berdampak pada semakin maraknya rokok ilegal. Alhasil membuat mati industri menengah-kecil, serta serapan bahan baku.

"Kenaikan cukai yang tinggi ini menyebabkan gap harga antara rokok ilegal dengan legal semakin jauh. Bertambahnya jumlah penindakan rokok ilegal dapat diartikan semakin maraknya rokok ilegal, bahkan terus meningkat akibat gap yang semakin tinggi," ujar Henry.

Namun, GAPPRI tetap menghormati keputusan pemerintah itu dan akan menaati kebijakan yang telah dibuat. Dengan harapan adanya relaksasi bagi IHT yang memproduksi SKM muapun SPM.

"Karena di masa pandemi relaksasi lebih dibutuhkan oleh industri sebagaimana diberlakukan pada jenis SKT, dibanding beban kenaikan tarif cukai yang dibebankan pada jenis SKM dan SPM," tegas dia mengakhiri.

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami