search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Reformasi Pengelolaan Sampah: Upaya Strategis Jaga Kenaikan Suhu Bumi
Selasa, 15 November 2022, 04:30 WITA Follow
image

bbn/CNBC Indonesia/Reformasi Pengelolaan Sampah: Upaya Strategis Jaga Kenaikan Suhu Bumi

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, NASIONAL.

Potensi perbaikan sistem pengelolaan sampah untuk pengurangan emisi karbon masih belum dianggap serius. Perbaikan sistem pengelolaan sampah di kabupaten dan kota akan memotong emisi dari sektor sampah sekitar 84% (1.4 miliar ton). Sementara itu, masih banyak potensi pengurangan emisi karbon yang perlu digali dengan memperhatikan keseluruhan alur ekonomi material pengelolaan sampah dari hulu ke hilir. 

Berdasarkan studi kasus di Kota Bandung, dengan menggunakan pendekatan zero waste dapat mengurangi emisi karbon dari pengelolaan sampah menjadi 10% dibandingkan sistem pengelolaan sampah yang mengirimkan sampah tercampur ke TPA. 

Pengurangan emisi karbon melalui pendekatan zero waste hanya untuk kota Bandung saja, akan mencapai hampir 2% dari NDC (National Determined Contribution).

Pemerintah perlu memprioritaskan aksi-aksi nyata dan progresif pada sektor pengelolaan sampah dalam arti luas, seperti pada rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim .

Baru-baru ini, laporan yang dirilis oleh Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) menjelaskan bahwa sistem ‘Zero Waste’  adalah cara tercepat dan paling terjangkau untuk mengupayakan agar pemanasan global tidak melebihi 1.5°C. 

Potensi pengurangan emisi karbon dari pengelolaan sampah secara global telah dikaji dengan mengambil studi kasus dari 8 kota di dunia, di mana menunjukkan bahwa rata-rata kota-kota ini bisa mengurangi emisi GRK sebesar 84% pada tahun 2030, bila strategi zero waste diterapkan secara penuh.

Kota Bandung terpilih melalui inisiatif program Kang Pisman yang digagas Pemerintah Kota Bandung sejak tahun 2018. Program ini menekankan pada pemilahan dan pengolahan sampah, khususnya sampah organik secara terdesentralisasi. 

Sektor pengelolaan sampah menyumbang sekitar 3.3% emisi gas rumah kaca (GRK) global, dan menjadi penyumbang emisi gas metana terbesar kelima. Perbaikan sistem pengelolaan seperti pemisahan sampah sejak dari sumber, daur ulang dan pengomposan dapat memotong emisi dari sektor persampahan lebih dari 1.4 juta ton, setara dengan emisi dari 300 juta mobil per tahun - atau setara dengan berhentinya semua kendaraan bermotor di Amerika Serikat selama 1 tahun. Namun, angka tersebut tidak menghitung dampak potensial dari sistem pengelolaan sampah saat ini. Setidaknya 70% dari emisi global berasal dari alur ekonomi material pada keseluruhan proses industri manufaktur, transportasi, produksi dan penanganan sampah produk dan kemasan. 

“Pengelolaan sampah yang baik merupakan solusi perubahan iklim yang nyata ada di depan kita. Solusi tersebut tidak membutuhkan teknologi yang mahal dan megah - hanya membutuhkan perhatian lebih pada apa yang kita produksi dan konsumsi, dan bagaimana kita mengelolanya ketika sudah tidak bisa dimanfaatkan,” kata anggota tim penulis dari GAIA, Dr. Neil Tangri.

Senada dengan Dr Neil, Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung Siti Hodijah menilai bahwa konsep zero waste yang dilakukan oleh YPBB harus dikembangkan dan dikaji lebih mendalam, sebab saat ini sektor limbah menjadi titik berat di Kota Bandung, “ Saat ini Kota Bandung sedang mencoba investasi pada kampung iklim. Ada sekitar 106 RW yang bersedia menjadi kampung iklim, dan dilakukan sosialisasi terus menerus. Muatan utamanya adalah pengurangan sampah di sumber sehingga RW bisa melakukan pengendalian mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” papar Siti Hodijah. 

“Potensi pengurangan emisi gas metan dari pengelolaan sampah misalnya, dapat menyumbang pengurangan emisi gas metan global hingga 13%. Hal ini dilakukan dengan pemisahan sampah organik di sumber dan pengolahannya. Hal ini seharusnya menjadi prioritas kebijakan karena dampaknya signifikan dan relatif mudah dilakukan,” tegas Melly Amalia, Koordinator Kampanye Zero Waste Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB). “Studi kasus kota Bandung memperlihatkan bahwa pemilahan dan pengolahan 90-95% sampah organik akan mengurangi emisi gas metan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) hingga tinggal seperempatnya, dibandingkan dengan bila sampah tercampur yang masuk ke TPA, atau setara dengan pengurangan emisi GRK sekitar 575 ribu ton per tahun,” tambahnya.

Mengantisipasi penuhnya TPA Sarimukti pada tahun 2023, saat ini Kota Bandung sedang berada di persimpangan antara melanjutkan program Kang Pisman secara progresif dan pengelolaan sampah tercampur berbasis teknologi termal, yaitu Insinerator di Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka dan Refuse Derived Fuel (RDF). 

Karena kebijakan yang didorong baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi Jawa Barat, adalah 1200 ton sampah per hari diproses di Insinerator TPPAS Legok Nangka dan sisanya diproses sebagai RDF, maka tentunya pendekatan berbasis sampah tercampur tersebut akan menghambat atau malah mematikan implementasi Kang Pisman secara menyeluruh.

Investasi pada kampung iklim agaknya menjadi salah satu pilihan yang realistis. Sebab, rencana pemanfaatan teknologi termal sebagai kebijakan utama dinilai tidak tepat.

“Studi kasus Kota Bandung menunjukkan bahwa bila Kota Bandung menerapkan teknologi termal berbasis sampah tercampur sebagai kebijakan utama, maka emisi karbon yang dihasilkan 4 kali lebih besar dibandingkan dengan pendekatan zero waste. Walaupun penggunaan teknologi termal membuat emisi karbon di TPA hampir tidak terjadi lagi, namun sumber emisi karbon berpindah ke insinerator itu sendiri, di mana pada tahun 2030 skenario berbasis teknologi thermal menghasilkan emisi GRK sebesar 312 ribu ton, walaupun pengurangan emisi karbon dari produksi energi telah diperhitungkan,” tegas Climate and Clean Energy Campaigner dari GAIA Asia Pasifik, Yobel Novian Putra. 

”Sumber terbesar emisi karbon dari insinerator adalah pembakaran plastik. Hal ini karena plastik dibuat dari minyak bumi dan proses pembuatannya juga menghasilkan banyak emisi karbon. Menganggap sampah sebagai sumber energi terbarukan adalah sebuah kesalahan. Untuk setiap ton plastik yang dibakar, misalnya, akan melepaskan sekitar 3 ton CO2,” imbuhnya.

Walaupun potensi pengurangan emisi GRK dari berbagai kegiatan pengurangan sampah, seperti pembatasan plastik sekali pakai, refill, reuse serta repair masih menunggu kajian berikutnya, upaya pengurangan konsumsi dan produksi plastik tetap perlu segera dilakukan. Anggota  AZWI telah melakukan sejumlah studi yang menunjukkan bahwa pemerintah tidak akan mampu meningkatkan kinerja pengelolaan sampah secara signifikan tanpa reformasi tata kelola pengelolaan sampah itu sendiri. Hal ini tidak hanya mencakup regulasi sektor pengelolaan sampah, tetapi juga sektor pemerintahan daerah, industri, energi dan lain-lain. 

“Pemerintah harus segera menerapkan langkah nyata untuk melakukan transformasi tata kelola pengelolaan sampah, untuk menciptakan enabling condition yang secara signifikan memampukan pemerintah di semua tingkatan kewenangan untuk  mengelola sampah dengan pendekatan zero waste secara menyeluruh. 

“Langkah terbaik untuk meminimalkan emisi karbon dari sistem pengelolaan sampah adalah pengurangan produksi dan konsumsi plastik serta pencegahan sampah organik, khususnya sampah makanan,” ujar David Sutasurya, Steering Committee dari Aliansi Zero Waste Indonesia. 

Untuk menjaga pemanasan global di bawah 1.5°C, sebagaimana diatur dalam Perjanjian Paris, dalam mencegah bencana perubahan iklim, GAIA dan AZWI mendesak para pengambil kebijakan di Indonesia, maupun pemimpin global untuk mengambil tindakan segera dan kuat dengan:

- Memasukkan target dan kebijakan Zero Waste ke dalam rencana mitigasi dan adaptasi perubahan iklim

- Segera menerapkan phasing out menuju pelarangan sampah organik di TPA melalui pengolahan dan pemanfaatan sampah organik.

- Hentikan proyek teknologi termal yang sedang berlangsung dan yang direncanakan (Insinerator/tungku, Waste-to-Energy, RDF)

- Memprioritaskan pencegahan sampah makanan dan pelarangan plastik sekali pakai (PSP)

- Mempercepat kewajiban produsen untuk menerapkan sistem refill, repair dan inovasi reuse lainnya secara maksimal

- Mereformasi tata kelola pengelolaan sampah agar segera terjadi peningkatan kemampuan pendanaan dan kelembagaan pemerintah daerah, dalam pengelolaan sampah, secara signifikan.

Reporter: bbn/net



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami