Belajar Memuliakan Air dari Sistem Subak
Sabtu, 1 Agustus 2015,
09:30 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. Belajar tentang sistem irigasi pertanian Bali yang disebut dengan Subak bukan sekedar belajar mengatur distribusi air agar merata. Belajar subak juga berarti belajar memuliakan dan menghargai air sebagai urat nadi kehidupan.
Demikian disampaikan Juru Bicara Kelompok Kerja Uma Wali Tabanan Bali Made Nurbawa saat ditemui beritabali.com di Denpasar pada Sabtu, 31 Juli 2015. Kelompok Kerja Uma Wali merupakan kelompok kerja pelestari dan revitalisasi Subak. Mengingat air merupakan komponen penting dalam sistem subak. Jika air tidak lagi ada sudah tentu sistem subak tidak lagi memiliki peran dan fungsinya.
“Melalui subak kita diajarkan bagaimana memuliakan dan melestarikan air, subak memposisikan air sebagai roh dalam kehidupan bertani” kata Made Nurbawa.
Menurut Nurbawa, secara tradisi masyarakat Bali sangat mensucikan air. Air ditempatkan sebagai sumber dan pusat kehidupan. Pada sisi lain, air juga merupakan awal tumbuhnya suatu peradaban manusia. Secara umum dalam kegiatan upacara di Bali pasti menggunakan air yang lebih sering disebut sebagai tirta. Dalam Kamus Sansekerta-Indonesia yang diterbitkan oleh Pemda Tingkat I Bali arti kata tirta merupakan air suci. Tirta biasanya diambil dari mata air atau sumber air yang disucikan. Tirta diposisikan sebagai wujud nyata karunia Tuhan untuk memberkati hidup untuk menuju suci dan bahagia.
“Makanya di Bali upacara tak lengkapi jika tidak ada tirta, begitu juga upacara belum selesai jika belum ada tirta” ujar Made Nurbawa.
Nurbawa memaparkan budaya memuliakan air di Bali sangat terlihat dengan jelas dalam budaya Subak. Budaya Subak boleh dikatakan ada sebagai bentuk keyakinan dan rasa bhakti masyarakat Bali dalam mengelola alam yang wajib selaras dan sesuai dengan spirit kesucian atau ber-Ketuhanan. Filosofi Budaya Subak adalah rangkuman kesadaran, pengetahuan, keyakinan dan tata cara manusia Bali dalam menjalaani kehidupan yang senantiasa bertujuan penyucian alam, terutama air. Kondisi tersebut yang menyebabkan kegiatan anggota subak sangat kental dengan beragam upacara yang berkaitan dengan air dan tanaman padi.
“Sebagai contoh upacara yang berkaitan dengan masa tanam seperti upacara magpag toya (menjemput air), karena pentingnya air dalam pertanian sehingga perlu upacara magpag (penjemputan)” papar Nurbawa.
Nurbawa menjelaskan upaya pelestarian air pada dasarnya telah ada sejak jaman kerajaan. Sebagai salah satu contoh, masa kerajaan di Kabupaten Tabanan yang memiliki sistem pemerintahan yang berkaitan erat dengan penghormatan dan pemanfaatan pada sumber daya air untuk pertanian. Hingga sistem pemeritahan dan pola hubungan antar desa sangat erat kaitannya dengan aliran air atau sungai yang ada di Tabanan. Sungai adalah urat nadi perekonomian di jaman itu. Kemudian berkembang dalam satu kesatuan pemerintahan, serta keyakinan tradisi dalam budaya Subak.Jejak-jejak sejarah itu sangat dipengaruhi oleh keyakinan masyarakat Tabanan akan kesucian air dan Patirtaan (tempat sumber mata air yang disucikan). Terbukti banyak tempat suci dibangun diwilayah atau pusat pemerintahan kerajaan Tabanan, berhubungan erat dengan filosofi dan keyakinan akan kesucian air
Nurbawa menyebutkan dari 9 kabupaten/kota di Bali, kabupaten Tabanan disebut-sebut sebagai lubung beras Bali. Sebutan tersebut bukan karena semata-mata Tabanan memiliki sawah yang luas, tetapi karena memiliki sumber daya air yang mencukupi. wilayah kabupaten Tabanan terdapat 74 buah sungai dan salah satunya adalah Tukad Yeh Ho. Tukad Yeh Ho memiliki daerah aliran (DAS) mencapai luasan 54.85 Km2 dan mengalir sepanjang 35.50 Km. Mempelajari aliran air Tukad Yeh Ho, nampak jelas dimasa lampau debit dan aliran air merupakan pedoman dasar dalam pemanfaatan dan penataan ruang di wilayah Tabanan, khususnya dalam pembuatan sawah sebagai sumber ekonomi utama saat itu. Saat ini sumber daya air Tabanan masih mampu mengairi sawah seluas 22.388 Ha. Menghasilkan 222.706 ton gabah kering giling atau setara dengan 25,73% total produksi gabah provinsi Bali sebesar yaitu sebesar 865.554 ton pada tahun 2013.
Sumber daya air Tabanan adalah tulang punggung ketahanan pangan, budaya, sosial politik dalam bingkai keyakinan tradisi, adat dan agama di Bali. Dengan demikian merusak keberlanjutan dan kelestarian sumber daya air yang ada di wilayah Tabanan merupakan bencana di masa yang akan datang.
“Jika air tidak mampu dikelola dengan baik maka akan terjadi kekeringan, akibat kekeringan maka terjadi alih fungsi lahan. Ketahanan pangan akan menjadi mimpi jika tidak diawali dengan ketahanan sumber daya air,” tegas Nurbawa.
Pekaseh (Ketua ) Subak Gaga, Abiansemal Badung I Gusti Nyoman Sudira mengatakan sistem subak mengajarkan pada karma (warga) subak untuk berbagi dan bertanggungjawab terhadap penggunaan air. Warga subak juga diajarkan tentang pentingnya mengelola sumber mata air dan aliran air demi keberlangsungan pertanian. “Menjaga air dalam sistem subak di sini sama artinya juga menjaga kehidupan” jelas I Gusti Nyoman Sudira.
Sudira menyampaikan terjadinya alih fungsi lahan pertanian selama ini bukan semata-mata karena kebutuhan akan pembangunan pemukiman. Alih fungsi lahan salah satunya juga dipicu oleh terputusnya saluran irigasi subak. Terhentinya aliran air akibat kerusakan irigasi menyebabkan lahan yang tidak mendapatkan air akan kering, sehingga masyarakat akan cenderung melakukan alih fungsi. Sudira menegaskan jika tidak ada upaya melestarikan subak maka akan sangat sulit mewujudkan ketahanan pangan karena cepatnya alih fungsi lahan. Terbukti dari 52 hektar lahan Subak di Subak Gaga, 2 hektar diantaranya telah mengalami alih fungsi.
Sudira menambahkan menjaga aliran air merupakan komponen penting dalam menjaga sistem subak. Aliran air yang dijaga oleh warga subak bukan hanya aliran di kawasan kelompok subak saja. Warga Subak juga memiliki tugas untuk menjaga mata air dan aliran air yang menjadi sumber air utama. Makanya tidak jarang anggota subak satu dengan yang lainnya akan bergotong royong membersihkan dan memeliharan aliran air utama secara bersama-sama. “Kewajiban bagi kami secara bersama menjaga sumber air bersama, walaupun sumber air itu tidak berada di wilayah Subak Gaga” ujar Sudira.
Peneliti Subak dari Fakultas Pertanian Universitas Udayana Prof. Wayan Windia memaparkan tantangan pelestarian Subak dengan sumber daya airnya tidak saja pada kerusakan saluran irigasi akibat pembangunan. Subak kini juga menghadapi tantangan berupa peraturan yang dibuat oleh pemerintah yaitu Undang-Undang 7 tahun 2004 tentang sumber daya air. Dalam undang-undang tersebut terdapat kewenangan swasta untuk mengelola sumber daya air permukaan. Selama ini Subak memanfaatkan sumber daya air permukaan. Maka jika kemudian sumber daya air permukaan diambil oleh swasta maka subak tidak akan mendapatkan air. “Ini bentuk intimidasi terhadap subak, sudah kelompok kecil kemudian tersisihkan secara hukum,” kata Windia.
Windia menjelaskan seharusnya Undang-Undang 7 tahun 2004 memuat prioritas penggunaan air untuk pertanian, bukan untuk swastanisasi. Undang-Undang 7 tahun 2004 juga seharusnyan memuat pembentukan komisi irigasi. Komisi irigasi diperlukan untuk membela kepentingan petani dalam mendapatkan air. “Komisi irigasi ini memiliki peran memfasilitasi petani untuk mendapatkan air, klau sekarang tidak ada yang membela subak,” papar Windia.
Pada tahun 2012 lalu, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atau organisasi dunia di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dunia mengakui Subak sebagai bagian dari warisan budaya dunia. Pengakuan tersebut sebagai penghargaan atas kesadaran masyarakat Bali dalam mempertahankan budaya system irigasi. Subak dinilai memiliki nilai budaya yang luar biasa dan masih bisa ditunjukkan bukti-buktinya sebagai kultur hidup yang diikuti oleh masyarakat adat Bali.
Seiring perkembangan pembangunan, pemanfaatan air di Bali kini bukan saja untuk memenuhi kebutuhan pertanian. Sektor pariwisata justru kini mengambil porsi konsumsi air terbanyak. Hotel-hotel dengan ratusan kamar bermunculan dan mengambil air bawah tanah dan air permukaan. Kebutuhan air oleh industry perhotelan tidak sebanding dengan daya dukung air yang ada di Bali. Belum lagi kebutuhan air oleh hotel untuk memenuhi kebutuhan kolam renang. Satu sisi masyarakat Bali bertahan dengan konsep perlindungan air dengan kearifan local yang dimiliki, namun disisi lain industri pariwisata mengambil tanpa kontrol.
Berdasarkan data Bali Hotel Association (BHA) dan Howarth HTL menunjukkan Hotel dengan tarif lebih US$440 mengkonsumsi air lebih dari 4.000 liter per orang. Jauh lebih tinggi dari asumsi kebutuhan air penduduk 183 liter per hari di Bali. Penduduk Bali berdasarkan angka sensus 2010, sejumlah 3.890.757 jiwa, angka proyeksi BPS 2014, berjumlah 4,1 juta. Dengan rata-rata penggunaan air setiap orang 183 liter/hari, berarti kebutuhan lebih 750 juta liter per hari. Sedangkan data kebutuhan air bagi wisatawan berdasarkan data PHRI 2014 dimana jumlah kamar hotel 77.496 kamar. Jika rata-rata per kamar perlu 2.000 liter, kalau terisi 50% perlu 160 juta liter per hari. Jumlah tersebut belum termasuk kebutuhan air dari ratusan villa tak teregistasi, kondotel, dan lain-lain.
IDEP Foundation sempat mengumumkan bahwa cadangan air tanah Bali telah tercatat berada dibawah 20% dan peneliti telah memberitahukan bahwa kondisi pulau ini akan semakin buruk dan akan terjadi krisis ekologi di tahun 2020. Dimana lebih dari 77,000 kamar hotel yang terdaftar dan fasilitas online booking yang mempromosikan jutaan villa untuk disewa. Kondisinya diperburuk dengan target 30 juta wisatawan di tahun 2029.
Penelitian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup pada 1997 silam menyebutkan jika Bali akan mengalami krisis air pada 2013 sebanyak 27 miliar liter. Ahli hidrologi lingkungan Universitas Udayana, Wayan Sunartha, memperkirakan Bali akan mengalami defisit air 26,7 miliar meter kubik pada 2015. Sebelumnya pada 2012 Data Badan Lingkungan Hidup (BLH) menunjukkan bahwa 200 lebih atau 60 persen daerah aliran sungai mengering dan itu potensi air permukaan. Data BLH juga yang menyatakan bahwa daerah Kuta dan daerah Suwung itu sudah mengalami intrusi, satu kilometer di daerah Sanur sampai ke Suwung dan 8 meter di daerah Kuta intrusi itu terjadi, artinya ada penggunaan air bawah tanah yang sifatnya eksploitatif.[beritabali.com/muliarta]
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: bbn/mul