Kongkalikong Praktek Kotor Oknum Pejabat Calo Izin GrabCar di Bali
Minggu, 21 Februari 2016,
22:05 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Seiring waktu indikasi permainan kotor calo izin Grab di Bali mulai terkuak setelah ada pengakuan salah satu vendor Grab pertama di Bali. Kongkalikong praktek kotor jual beli izin Grab Car yang awalnya dikenal sebagai Grab Taksi di Bali karena ditolak oleh Asosiasi Sopir se-Bali ini, hasilnya bisa terbilang sangat menggiurkan bagi para oknum yang bermain.
Betapa tidak, sebelum ramai ditolak para sopir se Bali, operasional GrabCar di Bali diserbu ratusan sopir yang beralih menggunakan aplikasi impor tersebut. Namun sayangnya, belakangan baru diketahui ada indikasi permainan kotor dibalik mulusnya aplikasi ini di Bali.
Jika sampai tahun 2016 ini di Bali ada sekitar 2.000 unit tambahan izin baru untuk angkutan sewa, bisa dibayangkan berapa jumlah uang yang mengalir ke kantong para oknum pejabat, yang diduga menjadi calo izin angkutan GrabCar ini.
Terkait hal ini, Ketua Organda Bali, Ketut Eddy Dharma Putra saat memberikan keterangan pernah membantah pihak Organda Bali ikut bermain dalam jual beli izin GrabCar di Bali yang jumlahnya sudah mencapai sekitar 500 unit.
"Saya katakan, kalo ada liat Eddy Dharma terima uang dari Grab, ada tandatangannya Eddy Dharma, berapa jumlahnya? saya akan bayar cash 10 kali lipat. Kalo ada lho, karena di sini (Kantor Organda Bali) semuanya pertemuan. Karena saya mempertemukan dengan rapat pleno. Jadi enak tidak ada kecurigaan," ucapnya membantah.
Salah satu Vendor GrabCar terbesar di Bali sebut saja bernama Edi, malah mengaku sebelum bisa bergabung dengan GrabCar, setiap kendaraan harus mengantongi surat rekomendasi izin angkutan sewa dari Organda sebelum diurus izinya di Dishub Bali.
"Saya punya izin induk, ibaratnya seperti jatah izin dari Dinas Perhubungan. Tapi untuk mengurus izin itu sebelum bergabung ke GrabCar, saya bisa habis Rp 5,5 juta per unit. Minimal segitu saya mengeluarkan cost untuk pengurusan izin angkutan Grab per unit," ungkapnya.
Namun berbanding terbalik saat Kabid Perhubungan Darat Dishub Bali, Standly J. Suwandhi saat memberikan keterangan sebelumnya yang mengaku, setiap izin angkutan yang dikeluarkan oleh pemerintah lewat Dishub Bali hanya dikenakan retribusi resmi sebesar Rp 75 ribu per unit. Jadi ada selisih sekitar Rp 5,425 juta (kemungkinan belum dipotong biaya lainnya) yang dikeluarkan oleh salah satu Vendor Grab ini untuk mendapatkan izin angkutan sewa per unitnya.
Edi menegaskan, jika selama ini pihak Vendor Grab sebelum mengurus izin angkutan di Dishub Bali juga harus melapor dulu ke Organda untuk mendapatkan rekomendasi.
"Harus bayar juga untuk mendapatkan rekomendasi. Jika tidak bayar rekomendasi tidak keluar. Itu resmi bayarnya. Namun untuk saya tidak pernah menjual izin induk saya, karena izin angkutan saya kelola sendiri. Apalagi izin induk yang diberikan Dishub Bali sangat terbatas," tegasnya.
Padahal sebelumnya, dari keterangan Kabid Perhubungan Darat, pihak Dishub Bali tidak memberikan jatah ataupun kuota izin bagi perusahaan angkutan. Namun diakui setiap pengurusan izin angkutan tidak boleh perorangan dan harus lewat perusahaan angkutan.
Sepanjang sepengetahuannya, perusahaan Grab awalnya berdiri di Bali sekitar bulan Agustus 2015. Waktu itu Grab hanya bekerjasama dengan 3 vendor pertama, yakni Royal, Bali Victory dan Mandas.
"Saya sebagai vendor atau perusahaan transportasi pertama Grab yang awalnya tidak dibuka untuk partnership dengan masyarakat. Namun dalam perkembangannya dibuka Grab Profit Sharing sehingga pribadi pun bisa ikut dengan syarat punya izin unit kendaraan," jelasnya.
Lebih lanjut dijelaskannya, GrabCar dikelola di Singapura dan sekarang hanya dikembangkan di Jakarta dan Bali lewat PT Sarana Transportasi Indonesia.
"Sekarang Grab yang dikelola perusahaan Singapura-Malaysia dulu ada kantor resminya di Dewangsa Jl. Pratama Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung. Namun akhirnya ditarik dan tutup hingga sekarang. Sampai saat ini saya tidak tahu kantornya di Bali, sehingga saya harus berhubungan langsung dengan perusahaan Grab di Jakarta," tandasnya.
Diakuinya, sampai sekarang sudah 30 unit mobilnya bergabung dengan GrabCar dan selaku vendor bisa menikmati keuntungan Rp 300 sampai Rp 500 ribu per unit dengan izin angkutan sewa seperti usaha rencar.
"Izinnya seperti untuk rentcar dengan plat hitam OS atau AS itu semuanya sewa itu. Tapi namanya rentcar banyak juga yang tidak berizin," tuturnya.
Aplikasi berbasis satelit ini dikatakan menerapkan argo dari satu titik ke titik yang lain dengan satu tarif yang tidak bisa dikurangi ataupun ditambah yang diatur langsung oleh aplikasi Grab.
"Grab tidak menjanjikan bonus, namun memberikan insentif yang bisa berubah setiap minggu. Misalnya dalam sistem argo aplikasi ini bisa memberikan insentif 50 persen dari jumlah besarnya argo. Namun untuk mencairkan insentif juga ada ketentuan yang diatur oleh aplikasi ini, seperti jika rasio dibawah 4,2 persen insentif akan hangus. Bahkan jika rasio dibawah 4 persen langsung diblok tidak bisa ikut Grab lagi," imbuhnya.
Dari keterangan tersebut, sudah jelas aplikasi GrabCar di Bali sudah berbisnis angkutan, karena menerapkan trayek dari satu titik ke titik lainnya dengan menerapkan argo yang harus disepakati oleh sopir maupun calon penumpang.
Padahal sesuai aturan Keputusan Menteri (KM) No.35 tahun 2003, Bab IV, Pasal 30c menyebutkan angkutan sewa tidak menerapkan argo yang diatur seperti aplikasi GrabCar, karena tarif angkutan ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa. Seharusnya, tidak seperti angkutan taksi yang wajib menggunakan tarif argo.
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: bbn/rob