Menjaga Anak dari Doktrin Televisi
Kamis, 3 Maret 2016,
07:05 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Setiap tahun lembaga rating AC Nielsen merilis tingkat konsumsi media di Indonesia. Setiap tahun juga media televisi (TV) menempati urutan pertama. Secara rata-rata tiap tahun tingkat konsumsi media TV di Indonesia selalu diatas 90 persen. Hal ini berarti hampir seluruh masyarakat Indonesia menonton TV setiap hari. Dimana secara rata-rata masyarakat Indonesia menonton TV selama 4,5 jam per-hari. Keberadaan TV dalam sebuah keluarga ibarat anggota keluarga yang tidak disadari kehadirannya. Menonton TV juga seakan menjadi menu wajib dan bukan pilihan lagi. Jika dikaitkan dengan kebutuhan hidup, TV bukan lagi menjadi kebutuhan tensier tetapi telah menjadi kebutuhan pokok. Tanpa disadari TV mengambil peran dalam keluarga. Peran yang diambil TV tidak lagi sebatas menjadi sarana untuk mendapatkan hiburan, namun telah mengambil hak asuh dan hak mendidik. Sebagai contoh kasus dimana televisi telah menjadi ibu asuh bagi anak-anak dalam sebuah keluarga. Anak-anak diberikan keleluasaan untuk menonton TV agar orang tua dapat melakukan aktivitas atau pekerjaan rumah tangga. Terkadang orang tua membiarkan anak menonton TV dengan alasan agar anak tidak rewel dan menangis, tanpa mempertimbangkan siaran TV yang ditonton anak.
Berdasarkan hasil penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa siaran TV memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pola piker pemirsannya. Termasuk mempengaruhi pola pikir, prilaku dan sikap anak. Apa yang disiarkan TV ibarat doktrin bagi anak-anak, sehingga anak-anak akan cenderung meniru apa yang ditontonnya di TV. Apalagi selama terdapat anggapan bahwa apa yang disiarkan oleh TV merupakan suatu kebenaran. Para ahli psikologi telah memberikan peringatan bahwa anak yang menonton TV secara berlebihan dapat menyebabkan anak menjadi malas belajar. Anak menjadi malas belajar karena sulit untuk beralih ke pelajaran dan cenderung menonton acara favoritnya. Anak yang rutin menonton TV secara berlebihan juga cenderung konsumtif, dan berprilaku imitatif. Pada sisi lain menonton TV secara berlebihi juga menimbulkan jarak atau merenggangkan hubungan kekeluargaan. Bila Ditinjau dari segi kesehatan maka anak yang berlebihan menonton TV berpotensi mengalami obesitas. Dimana anak malas berolahraga dan menggunakan waktu luang dengan menonton TV. Belum lagi terdapat kebiasaan buruk saat menonton TV, anak tersebut sering mengkonsumsi camilan. Cenderung juga camilan yang dimakan adalah produk makanan yang diiklankan di televisi. Kebiasaan menonton TV yang berlebihan pada anak juga akan sangat berpengaruh pada kesehatan mata anak. Mengingat jarang pandang menonton yang sering sekali tidak sesuai dengan jarang pandang atau menonton secara sehat.
Bagaimana dengan kualitas siaran TV? Jika dicermati maka dapat dijumpai bahwa masih banyak tayangan yang tidak mendidik serta cenderung menonjolkan hiburan semata. Contoh kasus dapat kita lihat dimana masih banyak tayangan kartun yang menyajikan kekerasan. Sering juga dalam film kartun dipertontonkan adegan salah satu tokoh yang berulangkali dibunuh tetap hidup kembali. Bagi seorang anak tentu tidak mengerti bahwa aksi-aksi dalam film kartun hanya imajinasi. Celakanya aksi tokoh kartun tersebut ditiru oleh anak-anak tanpa berpikir dampak yang ditimbulkan. Parahnya juga selama ini persepsi pekerja di lembaga penyiaran dan masyarakat di Indonesia bahwa film kartun adalah film untuk anak-anak. Belum lagi film tersebut kemudian mendapatkan tanda lulus sensor dari lembaga sensor film sehingga seakan-akan layak untuk disiarkan melalui TV. Padahal bila ditinjau dari sudut pandang Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran diberikan batasan bahwa isi siaran tidak boleh berisikan unsur kekerasan. Dalam upaya mengurangi unsur kekerasan dalam sebuah tayangan TV maka TV sebagai lembaga penyiaran memiliki kewajiban untuk melakukan sensor internal. Jika selama ini masih banyak tayangan kekerasan dalam siaran TV maka dapat disimpulkan sensor internal di lembaga penyiaran masih lemah.
Bila kemudian mencermati iklan dalam tayangan siaran TV juga cenderung memberikan imajinasi yang berlebihan. Sedangkan anak-anak tidak paham bahwa iklan yang ditonton memberikan imajinasi berlebihan. Imajinasi berlebihan dalam iklan dibuat dengan target untuk menarik minat konsumen untuk membeli. Sebagai contoh yaitu iklan biskuit yang memperlihatkan seorang anak menjadi mempunyai tenaga super setelah makan biskuit. Iklan TV dengan imajinasi berlebihan lainnya yaitu iklan sepatu yang ketika dipakai bias membuat pemakai terbang seperti pesawat.
Jika melihat Undang-Undang penyiaran lebih jauh terutama dalam pasal 36 ayat (3) disebutkan bahwa isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khususnya, yaitu anak-anak dan remaja dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan atau menyebutkan klasiffikasi khalayak sesuai isi siaran. Tayangan yang mendidik, informatif dan berkualitas sangat dibutuhkan dalam upaya perlindungan terhadap anak-anak. Dalam upaya menghasilkan siaran yang ramah anak maka kualitas pengelola lembaga penyiaran, baik dari reporter, redaktur hingga pemilik media harus memiliki persepsi yang sama terhadap upaya perlindungan terhadap anak. Tanpa adanya perspektif perlindungan anak dari pengelola lembaga penyiaran sangat tidak mungkin menghasilkan siaran yang ramah anak. Lembaga penyiaran juga memiliki tugas membangun kesadaran perlindungan anak melalui program siarannya. Program siaran tersebut dalam bentuk berita ataupun tayangan yang berperseptif perlindungan anak.
Prilaku anak yang meniru apa yang ditayangkan televisi pada dasarnya bukanlah semata-mata kesalahan lembaga penyiaran. Tayangan televisi saat ini cukup beragam, tetapi lembaga penyiaran telah memberikan klasifikasi dalam setiap siaran. Klasifikasi siaran dapat dilihat dengan memperhatikan kode atau tanda dalam layar TV. Tanda tersebut berupa tanda R dalam lingkaran yang berarti tayangan khusus Remaja atau tanda BO dalam lingkaran yang berarti ketika anak menonton tayangan tersebut perlu bimbingan orang tua. Kenyataannya sangat jarang orang tua yang memperhatikan tanda dalam layar TV. Sebagian besar dengan alasan kesibukan, orang tua justru membiarkan anak menonton siaran televisi yang tidak sesuai dengan klasifikasinya. Kebiasaan buruk lainnya adalah prilaku orang tua yang menempatkan televisi di ruang tidur. Penempatan TV dalam kamar atau ruang tidur menyebabkan anak sering ikut menonton apa yang ditotonkan orang tua, padahal siaran tersebut khusus untuk kalangan dewasa. Dalam kondisi tersebut bukan siaran televisi yang tidak baik, tetapi anak menonton siaran yang tidak sesuai dengan usia dan kebutuhannya.
Sepatutnya orang tua mendampingi anaknya ketika anak menonton siaran televisi. Namun yang sering terjadi orang tua sering rebutan remote TV dengan anak untuk menonton acara favoritnya. Tanpa disadari orang tua memaksa anak untuk menonton TV yang menyajikan siaran khusus dewasa. Ego orang tua justru menyebabkan anak menonton siaran yang bukan diperuntukkan bagi anak. Jadi permasalahannya bukan pada kualitas siaran TV yang tidak ramah anak tetapi pada sikap orang tua yang tidak memahami kebutuhan anak dan klasifikasi siaran yang ditayangkan TV. Dalam jangka panjang kebiasaan buruk orang tua akan berdampak buruk bagi perkembangan psikologis dan prilaku anak. Anak akan mengikuti doktri yang didapatkan melalui acara TV, karena anak tidak mampu memilah dan memilih apa yang disiarkan oleh TV. Anak lebih cenderung menerima secara langsung terkait apapun yang disiarkan oleh televisi.
Kewajiban orang tua untuk mendampingi anak saat menonton TV sangat jarang dapat dipraktekkan. Orang tua juga akan lebih mudah menyalahkan stasiun TV dengan menuding tidak mampu menyajikan siaran yang mendidik dan ramah anak. Pada sisi lain, pemahaman pekerja penyiaran juga perlu ditingkankan agar tetap mengedepankan perlindungan anak dalam mengemas siaran. Sedangkan pada sisi yang lain peran akademisi dan pemerintah dalam melakukan literasi media terkait cara memilih siaran TV dan menonton TV yang baik juga masih minim. Pada posisi ini diperlukan kesadaran bersama dalam upaya melindungi anak dari dampak buruk siaran TV. Perlu pemahaman bersama dalam menyiapkan dan mengemas siaran TV yang berkualitas dan mendidik bagi penerus bangsa. Perlu juga pemahaman dari orang tua terkait acara favorit anak dan membantu anak dalam memilih tontonan yang sesuai.
Sejak tahun 2006 sosialisasi terkait cara menonton yang baik dan cerdas sudah dilakukan oleh para aktivis dan pemerhati penyiaran serta KPI. Sosialisasi tersebut salah satunya dikemas dalam kegiatan tahunan berupa gerakan menonton secara sehat. Gerakan tersebut intinya mengajak masyarakat untuk menonton TV dengan waktu maksimal menonton selama 2 jam sehari.
Serta membiasakan diri untuk menjadikan kegiatan menonton TV sebagai pilihan bukan kebiasaan. Terdapat juga program diet menonton TV, yang intinya mengajak masyarakat serta anak-anak untuk mengurangi waktu menonton TV. Kini tinggal peran orang tua dalam melindungi anak dari doktrin siaran TV.
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: bbn/net