Seniman Anak Agung Made Cakra, Tukang Cukur yang Gila Musik
Minggu, 12 Agustus 2018,
19:15 WITA
Follow
IKUTI BERITABALI.COM DI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com,Denpasar. Kehidupan Gung Cakra, begitu ia akrab disapa, memang sangat lekat dengan musik pop daerah Bali. Kepiawaiannya bermusik serta melantunkan lagu ciptaannya menjadikan ia seniman musik pop Bali terdepan.
[pilihan-redaksi]
Sebagai seniman musik otodidak, Anak Agung Made Cakra telah melakoni jam terbang di bidang musik amat melelahkan.sejak usia tujuh tahun ia mulai belajar musik secara otodidak. Sebelumnya, ia amat suka mendengarkan alunan musik pop yang dimainkan orang-orang Jepang di Bali. Dalam setiap pertunjukan musik itu, ia tak sekadar menonton melainkan mencerna hingga grup musik itu bubar.
Sebagai seniman musik otodidak, Anak Agung Made Cakra telah melakoni jam terbang di bidang musik amat melelahkan.sejak usia tujuh tahun ia mulai belajar musik secara otodidak. Sebelumnya, ia amat suka mendengarkan alunan musik pop yang dimainkan orang-orang Jepang di Bali. Dalam setiap pertunjukan musik itu, ia tak sekadar menonton melainkan mencerna hingga grup musik itu bubar.
Tahun 1943, ketika masih duduk di bangku SR (Sekolah Rakyat), Gung Cakra ikut lomba lagu Jepang di Singaraja (ketika itu masih menjadi Ibukota Provinsi Bali). Ternyata Cakra berhasil memikat pemusik Jepang itu. Pemusik itupun sanggup memberikan arahan bermain musik yang baik kepada Gung Cakra.
Maka setamat SR Gung Cakra dipekerjakan oleh Jepang itu di Hinomaru dengan gaji 6 rupiah. Setelah digaji disini ia juga dilatih bermain musik, dan pemusik Jepang itu yang namanya dia lupa, Cakra memang sangat berbakat di bidang musik. Tak tanggung-tanggung pemusik Jepang itupun mengajak Cakra pentas bersama menghibur para tamu dan orang-orang sakit. Cakra merasa beruntung bisa belajar musik.
Suatu hari di Pasar Badung, disebuah tong sampah, ia menemukan buku musik berbahasa Inggris. Runyamnya, ia mengaku tidak bisa berbahasa Inggris karena memang tidak pernah belajar. Namun, ia yakin, isi buku itu memang tentang pengetahuan praktis bermain musik. Isinya antara lain tentang cara menggesek biola, notasi dan lain lain.
Memasuki zaman kemerdekaan, ia pun tak surut dari dunia musik. Sebaliknya, dia justru kian suntuk belajar musik. Tahun 1950 ia bahkan mencoba mengumpulkan pecinta musik di Denpasar dengan maksud untuk membentuk satu grup orchestra. Tahun 1953 mulailah pentas orchestra Gung Cakra dan kawan-kawan digelar di seputar Denpasar.
Mulanya ia bergabung dengan grup orkes keroncong Puspa Teruna di pimpin Ida Made Rai. Lalu bergabung dengan orkes keroncong melatih Kusuma pimpinan Merta Suteja. Tak cukup sampai disana, ia kemudian meloncat ke orkes keroncong Merta Kota dan orkes keroncong Cendrawasih pimpinan Ir Soekarno, Putra Sunda, Jawa Barat, yang tinggal di Singaraja. Selain itu, ia juga terlibat kegiatan rutin bermusik di RRI Stasiun Denpasar dan pentas di panggung terbuka, di samping juga tampil khusus di pesta perkawinan hingga di bale banjar-bale banjar.
Sekitar tahun 1955 Ir Soekarno pulang ke tanah Sunda, dan orkes keroncong Cendrawasih pun bubar. Dasar memang pecandu berat musik Gung Cakra pun membentuk grup orkes keroncong Fajar Baru. Disini ia sekaligus sebagai pimpinan grup. Tahun 1958, Kodam XVI/Udayana (kini Kodam IX/Udayana) belum juga punya Korsik (Korps Musik). Untuk mengisi kekosongan tersebut pihak Kodam Udayana lantas mendatangkan grup music dari Makasar, Sulawesi Selatan.
Sayangnya grup musik tersebut tak lengkap. Ada satu posisi yang tak terisi. Maka, Gung Cakra yang memang sudah popular di kalangan pecinta musik di Bali saat itupun mengisi kekosongan tersebut. Lantas berdirilah orkes DHK (Dinas Hiburan Kesejahteraan). Di grup ini Cakra mengaku banyak menimba pelajaran dan pengalaman, mulai dari menggesek biola, meniup seruling, hingga memainkan clarinet. Semuanya dikuasai dengan baik.
Dia sekedar memainkan alat music, benih-benih kreatifitasnya lantas berbiak ke penulisan syair lagu. Jadilah ia seorang pecinta syair lagu sekaligus penggarap komposisi musiknya. Yang paling mengesankan Gung Cakra selama berkarier di dunia musik adalah dipercayainya dia untuk menghibur tetamu Presideng RI pertama Ir Soekarno saat berada di Istana Tampaksiring.
Bahkan, bisa dikatakan Gung Cakra sudah menjadi langganan Bung Karno untuk menghibur tamu-tamunya di Istana Tampaksiring.
Begitulah ketenaran Gung Cakra di jagat musik Bali menjadikan lagu Kusir Dokar ciptaannya sebagai ‘lagu wajib’ kalangan pecinta musik pop di jagat seribu pura ini. Cakra pun mencoba merekam lagu itu di studio milik RRI Stasiun Denpasar. Berkat pemutaran master lagunya itu pendengar lagu daerah Bali RRI Denpasar jadi makin banyak, terutama di kalangan muda-mudi kota dan desa.
Awal tahun 1963 lagu Kusir Dokar sebenarnya sudah mulai lumrah di telinga masyarakat Bali dan Lombok, terutama berkat kehadiran grup band Putra Dewata yang didirikan Gung Cakra dan rekannya. Grup ini sempat dihadang kendala kesulitan mencari pemain sehingga ia menarik 7 anaknya untuk ikut main dalam band Putra Dewata. Uniknya, Cakra membuat sendiri alat musik yang digunakan, antara lain drum dari gulungan tripleks dang piringannya dari seng bekas yang diberi seorang temannya yang kebetulan bekerja di Hotel Bali Beach, Sanur. Ketipung di buat dari bahan kulit kambing yang di beli sendiri di Wangaya, sedangkan stik drum dibuat dari kayu api. Peralatan musik yang sangat sederhana ini terus dicoba sampai menemukan aura musik yang layak mengiringi lagu.
Di luar kisah sukses yang manis, Cakra pun sempat meneguk pengalaman pahit di pentas, terutama pada era 1965-an. Saat itu Bali, sebagaimana daerah lain di Tanah Air, memang sedang demam kampanye partai. Tak luput, Cakra sempat jadi korban perhelatan politik yang memang berkecamuk sengit. Ia, misalnya, sering diminta sekelompok orang untuk tampil memeriahkan peresmian partai. Mestinya ia senang karena dapat kesempatan pentas dan imbalan, namun yang diperoleh justru rasa kecewa, bahkan duka, cemas dan celaka.
[pilihan-redaksi2]
Tahun 1976, Cakra di datangi penguasaha rekaman Bali Record, Rikcy. Maksudnya, ingin mengajak Putra Dewata rekaman ke dalam kaset. Tentu saja ia sangat antusias. Sayangnya, hasil rekaman alat-alat music sendiri itu sangat mengecewakan. Saat diputar master kasetnya muncul suara berdesis, bahkan bising, termasuk oleh suara-suara rebut tetangganya yang nyelonong ke dalam pita kaset.
Tahun 1976, Cakra di datangi penguasaha rekaman Bali Record, Rikcy. Maksudnya, ingin mengajak Putra Dewata rekaman ke dalam kaset. Tentu saja ia sangat antusias. Sayangnya, hasil rekaman alat-alat music sendiri itu sangat mengecewakan. Saat diputar master kasetnya muncul suara berdesis, bahkan bising, termasuk oleh suara-suara rebut tetangganya yang nyelonong ke dalam pita kaset.
Perjuangan panjang dan berliku-liku Cakra masuk industry rekaman itu akhirnya membuahkan hasil Rp100 ribu. Tapi, bukan honor itu yang membuat dia merasa bahagia dan girang tak alang kepalang. Ia menjadi melonjak girang karena seniman yang dikenalnya beberapa jam itu berjanji meminjamkan alat kepada Cakra. Saking leganya dapat pinjaman alat musik modern dan canggih, ia lantas langung membuang alat musik buatannya sendiri ke sebuah sungai di Banyuwangi. Ia sama sekali tak berpikir panjang tentang koleksi untuk kepentingan ‘sejarah’ Putra Dewata. (bbn/rlssenimandenpasar/rob)
Berita Denpasar Terbaru
Reporter: bbn/rls