search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Gebrakan Program KB "Keluarga Bali" dengan Slogan 4 Anak
Kamis, 29 November 2018, 07:05 WITA Follow
image

beritabali.com/ilustrasi/net

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Pernyataan Gubernur Bali I Wayan Koster yang meminta kampanye soal Keluarga Berencana (KB) dengan dua anak cukup distop menghiasi halaman media. Pernyataan tersebut seakan menjadi sebuah gebrakan dan sebuah bentuk perlawanan terhadap program nasional tersebut. Alasan penolakan tersebut karena nama Nyoman dan Ketut mulai langka, serta tidak cocok dengan kultur Bali. Kekhawatiran lainnya yaitu jumlah krama (warga) Bali mengalami penyusutan, padahal karma Bali pendukung budaya Bali.
 
Kenyataan di lapangan yang muncul adalah kesan bahwa Pemerintah Provinsi Bali melalui gubernurnya menolak program KB. Jika yang ditolak adalah program KB maka artinya menolak program dan kebijakan nasional. Bila meninjau Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, sangat jelas diberikan batasan bahwa Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak, dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Jadi sangat jelas bahwa hak reproduksi diakui dengan tetap memperhatikan kualitas. Apabila program KB yang ditolak maka akan merugikan bagi Bali dalam upaya membangun keluarga berkualitas dan terencana.
 
 
Bila kembali mengutip definisi keluarga berencana, disana termuat sangat jelas akan pengakuan terhadap hak reproduksi. Pengakuan hak reproduksi dengan tetap memperhatikan perlindungan dan perencanaan agar terwujud keluarga berkualitas. Artinya tidak ada larangan bagi keluarga di Bali untuk memiliki anak 4 ataupun lebih selama dilakukan secara terencana. Hak reproduksi yang tertuang dalam aturan tersebut juga memberi ruang mewujudkan program KB ala Bali atau “Keluarga Bali” dengan 4 anak sebagai upaya menjaga kultur agar nama Nyoman dan Ketut tetap lestari.
 
Selama ini yang sering muncul dan menjadi momok adalah slogan “dua anak cukup”. Padahal slogan tersebut hanya untuk memberikan kesan bahwa keluarga yang sangat ideal adalah keluarga yang memiliki maksimal dua anak. Tentu ini pertimbanganya lebih pada sudut pandang kesehatan ibu dan anak. Termasuk perhatian orang tua terhadap anak ditengah kesibukan, perkembangan zaman dan kondisi ekonomi keluarga. Mungkin slogan “dua anak cukup” inilah yang tidak cocok diimplementasikan di Bali jika dilihat dari sudut pandang kultur budaya Bali yang memiliki tingkatan nama anak hingga Nyoman dan Ketut. Jadi slogan “dua anak cukup” yang harus diusulkan dievaluasi agar sesuai dengan kultur yang ada di Bali. Akan menjadi sangat elegan jika program KB diusulkan menggunakan slogan “Membangun Keluarga Berkualitas” atau disingkat MKB. Jika di Bali MKB tentu bisa diartikan menjadi “Membangun Keluarga Bali”, save (selamatkan) Nyoman atau save Ketut.
 
Justru pemerintah provinsi Bali harus mengusulkan perubahan slogan dari Program KB, karena selama ini slogan yang diciptakan lebih fokus pada tingkat ekonomi, kesejahteraan dan kesehatan. Sedangkan setiap daerah di Indonesia tidak bisa disamaratakan, karena terdiri dari berbagai suku, budaya dan kultur masing-masing daerah. Belum lagi selama ini banyaknya jumlah anak pada keluarga miskin dijadikan alasan untuk membuat slogan “dua anak cukup”.
 
Masyarakat Bali pada dasarnya sejak dahulu telah diajarkan cara membangun keluarga berkualitas melalui cerita Brayut. Namun sayang posisi Brayut menjadi contoh yang sangat buruk ketika program KB mulai digulirkan. Brayut telah diposisikan sebagai keluarga yang tidak patut diteladani karena keluarga Brayut memiliki banyak anak. 
 
Dalam sebuah artikel ilmiah berjudul “Pemaknaan Cerita Rakyat Brayut: Dari Ideologi Agraris Hingga Kapitalis yang dipublikasikan dalam Jurnal Kajian Bali, Volume 07, Nomor 01, tahun 2017 disebutkan Keluarga Berencana, telah memarginalkan posisi Brayut. Padahal Brayut adalah salah satu cerita rakyat Bali yang mengisahkan tentang kehidupan keluarga petani yang memiliki banyak anak. Pada era tradisional Brayut dikenal dengan ideologi pertanian bahwa banyak anak adalah bayak rejeki karena pertanian tradisional membutuhkan banyak tenaga kerja.
 
Bila dicermati secara lebih mendalam terkait dengan kehidupan keluarga Brayut yang tersurat dan tersirat dalam lontar Gaguritan Brayut menunjukkan bahwa Brayut adalah keluarga yang berhasil dalam mendidik anak-anaknya meskipun mereka memiliki anak dalam jumlah yang cukup banyak, yaitu 18. Jumlah ini bila dicermati dalam kaitan dengan sistem religi masyarakat Hindu di Bali adalah angka istimewa karena merupakan kelipatan angka 9. Angka 9 dipandang sebagai angka tertinggi, angka yang diyakini memiliki nilai religious magis dalam sistem keyakinan masyarakat Hindu di Bali.
 
Ketika program KB dengan dua anak telah sukses di Bali dan mendapatkan berbagai penghargaan, maka menjadi tantangan yang sangat berat bagi pemerintah provinsi Bali untuk menggaungkan kembali program KB “Keluarga Bali” dengan 4 anak. Keluarga Bali yang sudah nyaman dengan 2 anak, apalagi yang sudah memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunan akan enggan mengikuti. Tentu harus ada insentif yang harus diberikan agar keluarga Bali bersedia kembali memiliki 4 anak. Jangan sampai program KB “Keluarga Bali” dengan 4 anak hanya diikuti oleh keluarga yang belum memiliki anak laki-laki dan hanya untuk mengejar kehadiran anak laki-laki sebagai penerus keluarga. 

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami