Budaya Eksklusif Jadi Ancaman Bagi Persatuan di Era Milenial
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, BADUNG.
Beritabali.com, Badung. Budaya eksklusif menjadi ancaman yang serius bagi persatuan dan kesatuan bangsa di era milenial. Budaya ekslusif selain menjadi ancaman juga memang tidak sesuai dengan dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam.
Salah satu budaya eksklusif yang berkembang saat ini adalah budaya menempatkan salah satu agama sebagai agama yang paling baik dan menjadi menjadi solusi dari berbagai permasalahan yang ada saat ini.
“Sebetulnya lebih karena ada kelompok yang menginterprestasikan agama itu bukan bagian dari kebudayaan, seolah-olah dia tidak bisa berubah dengan jaman dan juga bersifat ekslusif, di semua agama ada yang menganggap dirinya yang masuk surga, sisanya masuk neraka,” kata Redaktur Senior Tempo, Bambang Harymurti dalam keteranganya di sela-sela urun rembug tokoh pers tentang masalah bangsa di Badung pada Jumat (23/8).
Menurut Bambang Harymurti, ciri khas Indonesia dari jaman dahulu adalah terbuka dan mengadaptasi. Buktinya ketika masa Sriwijaya dominan menganut agama Budha, kemudian masa Majapahit mayoritas menganut Hindu dan saat ini mayoritas Islam.
Dapat dikatakan ideologi Indonesia tidak bisa menerima adanya eksklusivitas, karena ideologinya Pancasila yang inklusif. Apalagi dalam sejarah Indonesia, kelompok ekslusif juga cenderung menggunakan cara-cara kekerasan. Seperti kata Bung Karno bahwa Indonesia adalah bangsa yang unik dengan keberagaman kehidupan masyarakatnya.
“Kita itu unik seperti bunga melati tetapi ditengah kebun bunga, ada bunga mawar, justru dengan keberagaman ini kita menjadi kebun yang indah, tetapi kalau hanya melati saja yang boleh hidup kan tidak menarik,“ papar Bambang Harymurti.
Tantanganya saat ini adalah menumbuhkan rasa bangga dengan keberagaman budaya yang ada di Indonesia, dan tetap bisa menghargai kebudayaan daerah lain. Ketika keberagaman budaya dan seni berkembang dengan harmonis maka kelompok ekslusif tidak akan dapat berkembang.
“Dimana kegiatan berkesenian subur tidak ada kelompok ekslusif, karena mereka tahu itu, buat kelompok ekslusif ini seni itu seperti matahari bagi vampire, bagi drakula, mereka pasti lumer,” ujarnya.
Bambang Harymurti menceritakan ketika kelompok ekslusif masuk ke Kepulauan Seribu, sampai tidak ada anjing di kepulauan seribu dan penuh kucing. Hingga kemudian muncul Gusdurian lokal yang menyuarakan keberagaman melalui berbagai kegiatan seni dan budaya, seperti lomba sajak dan menari. “anak muda tertarik , karena anak muda ingin yang fun” ungkap Bambang Harymurti.
Akademisi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana Dr. Dewa Windu Sancaya mengatakan bahwa apa yang terjadi selama ini cenderung akibat pembangunan lebih fokus pada pembangunan ekonomi. Justru lupa membangun karakter dan nasional building, sehingga pendidikan juga arahnya salah kaprah. Belum lagi konflik yang terjadi selama ini telah mempertajam posisi mayoritas dan minoritas.
“Parahnya karena konflik vertikal dan horizontal sudah membikin loka pada sejumlah kelompok dan etnik. Hubungan mayoritas dan minoritas sudah terlalu tajam perbedaanya,” ungkap mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali ini.
Windu menegaskan konflik sosial dan mengarah ke SARA sudah dideteksi sejak awal, namun sayang tidak ada antisipasi secara budaya. Justru pendekatannya adalah pendekatan agama dan politik serta tidak jarang memainkan isu SARA sebagai alat untuk melakukan negosiasi politik.
Harapannya pemerintah serius melakukan penegakan hukum, menghindari dan menghilangkan diskriminasi sosial dalam berbagai tingkatan, termasuk dalam sistem pemerintahan. Rekrutmen pejabat dan penyelenggara pemerintahan harus benar-benar transparan.
“Jangan ada suatu instansi atau departemen hanya dikuasai oleh etnik dan agama tertentu. Juga perlu lebih sering dilakukan kegiatan-kegiatan budaya yang mencerminkan kebhinekaan,” jelas Windu.
Windu menilai selama ini tidak ada upaya serius dalam mengatasi konflik sosial yang terjadi dan justru semakin tajam karena diwarnai masalah-masalah politik. Apalagi terdapat sebagian kalangan yang sungguh-sungguh serius menolak Pancasila sebagai idiologi negara dan pandangan hidup bangsa.
“Pemerintah harus tegas dan mencari solusi untuk masalah tersebut. Seseorang yang akan menjadi pejabat Negara, politik dan pemerintahan harus betul-betul seorang negarawan yang Pancasilais,” harap Windu.
Indonesia sebenarnya cukup banyak memiliki kearifan lokal yang dapat digunakan dalam meredam berbagai konflik yang muncul, termasuk dalam melawan kelompok-kelompok eksklusif. Kearifan lokal tersebut diantaranya berupa ungkapan seperti dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, kemudian bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh dan Bhineka Tunggal Ika.
“Itu semua mengandung nilai luhur yang dapat memperkuat kohesi sosial yang majemuk dan memperkuat rasa kebangsaan dalam masyarakat yang majemuk,” jelas Windu.
Windu menyayangkan kearifan lokal yang ada menjadi terabaikan karena pendidikan juga selama ini terlalu berorientasi luar negeri. Hampir semua materi pendidikan di sekolah berasal dari luar negeri, termasuk cara mengajarkannya. Akibatnya selalu menilai rendah budaya bangsa sendiri.
“Selalu mencari world class, apakah yang lokal tidak berarti world class. Borobudur, Prambanan, perahu pinisi, subak dan pengetahuan lokal lainnya, apa kurang world class?,” papar Windu.
Sedangkan Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bali Sruti, Dr. Luh Riniti Rahayu mengungkapkan meningkatnya politik identitas di berbagai daerah merupakan sinyal-sinyal yang mengancam NKRI, dan kerusuhan terakhir di Papua merupakan lampu kuning bagi NKRI. Jadi negara harus segera bertindak untuk menyelamatkan rumah NKRI ini dari kebakaran.
[pilihan-redaksi2]
“Dari penelitian SMRC, Saiful Mujani, bahwa 9% menghendaki penggantian Pancasila menjadi negara Islam. Jumlah 9% itu 24 juta, bila ini berteriak semua akan sangat berbahaya bagi NKRI,” kata mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bali.
Perlu ada upaya untuk mengidentifikasi dengan cepat ruang-ruang potensi konflik dari keberagaman Indonesia. Apalagi dalam keberagaman yang menjadi dasar persatuan di Indonesia, tidak semuanya dalam kondisi baik-baiksaja setelah setelah 74 tahun.
”Pendekatan toleransi berdasarkan agama terus digalakkan. Jangan dibiarkan kotbah-kotbah berisi ujaran kebencian di setiap agama,” ujar Riniti yang juga merupakan akademisi dari Universitas Ngurah Rai, Denpasar.
Aktivis Perempuan yang juga aktif di Forum Kerukunan Umat Beragama Bali ini mendesak pemerintah untuk membubarkan ormas-ormas yang radikal maupun berpotensi radikal. Termasuk mengatur kembali penyebaran penduduk di setiap daerah. Dengan mengatur komposisi penduduk asli dan pendatang tidak melebihi 20%, agar tidak menyebabkan persaingan secara ekonomi yg tidak sehat yang pada akhirnya memicu konflik yg berbasis ekonomi dan agama.
Riniti mengusulkan perlu adanya menteri toleransi, suku dan agama. Selain itu, Pendidikan etika dan toleransi harus menjadi salah satu pelajaran wajib sejak dini.
“Pemerintahan kedua Presiden Jokowi sangatlah penting dalam mewujudkan kehidupan yang toleran, karena bila tidak sekarang, bila tidak saatnya Jokowi, mampu mewujudkan semua itu, maka dimulai tahun 2024 tidak ada jaminan kemanakah arah angin negara kita,” ungkap Riniti. [bbn/muliarta]
Editor: Robby
Reporter: bbn/mul