Belog (Polos) Ajum di Masa Pandemi
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Saya masih ingat betul, sebuah stasiun televisi swasta di Bali pernah membuat program acara berjudul De Koh Ngomong. Program ini berisi kumpulan pendapat warga Bali terhadap suatu topik. Berbagai pendapat hadir silih berganti. Intinya, janganlah malas berbicara.
[pilihan-redaksi]
Kita harus berani berbicara apa yang memang betul menjadi pendapat dan isi hati. Malas berbicara, koh ngomong, berarti kita tidak perduli terhadap suatu persoalan. Memendamnya dalam-dalam bukanlah solusi. Marilah bersuara.
Namun, sejarah koh ngomong di Bali sangatlah panjang. Suka tidak suka, kita akan kembali menengok bagaimana posisi orang Bali dalam pergolakan sejarahnya. Cerita “mengharmonikan kekerasan” dan kesuksesan pembangunan pariwisata memendam bara dan konflik yang mengurat akar.
Jika terdapat disharmoni, maka dengan ritual akan diselesaikan (dianggap selesai) untuk menyeimbangkannya kembali tatanan harmoni. Pada momen inilah kita berbicara tentang rakyat Bali yang tersisih dalam wacana harmoni ini. Merekalah rakyat Bali yang menyimpan pohon konflik dan dendam tersebut. Rakyat Bali yang koh ngomong karena sudah mengetahui kebusukan dari narasi sukses dan harmoni itu.
Oleh sang kuasa, pohon konflik itu ditebang pada batang. Keterpisahan akar dengan batang kemudian disucikan dengan ritual. Tak berapa lama batang hancur dan busuk. Namun, akar dendam yang terpendam di tanah terus bergerak mencari udara demi pertumbuhannya (IBM Dharma Palguna, 2007: 5).
Seluruh problematika dan carut marut konflik disimpan rapi oleh narasi harmoni dan kesuksesan. Begitulah wajah Bali dan kepemimpinannya. Jnana (pengetahuan) justru membuatnya terikat dan kemudian terpeleset untuk menjadikannya “alat” mencapai kuasa. Saat pengetahuan hanya menjadi ‘alat”, maka nilai pembebasannya sejatinya sudah terkubur.
Belog Ajum
Pada satu momen, keinginan menggebu-gebu untuk berbicara, apalagi tentang diri sendiri tentang kesuksesan dan kuasa, memendam tamak dan kesombongan. Ajum, begitu orang Bali sering katakan. Kepandaian untuk berbicara tentang kesuksesan, keunggulan, kelebihan, bahkan ngedig tangkah, paling aku, jumawa, adalah jurang kehancuran itu sendiri.
Pada titik itulah, pengetahuan berada pada situasi terendahnya. Inilah belog yang hakiki ketika memposisikan diri selalu di atas pengetahuan. Karena apa? Ya, karena kita akan menutup mata dengan pengetahuan lain, suara lain, kritik, narasi alternatif, yang sudah kadung kita anggap remeh, tak penting, bahkan berpotensi untuk mengancam kesuksesan dan kuasa yang kita miliki.
Kita tertutup oleh narasi kesuksesan yang kita bangun sendiri, melalui dukungan akses dan kuasa yang sebenarnya semu. Mungkin ini yang menyebabkan kita begitu terbiasa dengan cerita heroik para raja, elit, atau “tokoh masyarakat” daripada perjuangan hidup rakyat jelata, Sang Marhaen. Sejarah juga menjadi kata sakti yang mengunci pergolakan kehidupan rakyat. Yang patut menarasikan sejarah adalah para penguasa atau yang diberikan kuasa oleh penguasa itu sendiri.
Sementara rakyat hanya menjadi penonton atau hanya barisan statistik yang bisa diselipkan sebagai penguat atau memperlemah kepentingan. Hanya itu. Kata rakyat begitu mudah dieksploitasi sekaligus juga menakutkan bagi penguasa.
Orang atau sang kuasa yang menjadikan rakyat hanya sebagai “alat” sebenarnya telah mengelabui dirinya sendiri. Orang seperti ini sudah tentu menganggap dirinya berada di atas rakyat. Dialah yang harus diperhatikan rakyat. Dialah kesuksesan yang mampu “mengendalikan” rakyat. Dialah yang membuat rakyat “tunduk” pada berbagai himbauan, instruksi, dan perintah yang dibuatnya.
Baginya, rakyat harus “diberdayakan” karena (dalam pandangannya) belum berdaya (guna) dengan baik. Baginya, rakyat hanyalah serdadu yang siap siaga untuk dikerahkan dan berani mebela pati nindihin perintahnya. Hanya sebegitu pengetahuan sang kuasa memandang rakyat.
Padahal, orang yang menghayati pengetahuan adalah yang memposisikan dirinya di bawah. Dulu, pengetahuan itu sangat dirahasiakan, atau hanya diperuntukkan bagi golongan tertentu (Aje Were). Tapi karena sifatnya seperti air mengalir ke tempat yang lebih rendah, maka pengetahuan itu akhirnya sampai pada orang-orang yang memposisikan dirinya di bawah. Maksudnya adalah pengetahuan tidak akan didapatkan oleh orang yang menempatkan dirinya lebih tinggi dari pengetahuan itu (IBM Dharma Palguna, 2018: 8).
Masa pandemi ini kita dipertontonkan fragmen belog ajum tersebut dari kepemimpinan di pulau ini. Kita dipertontonkan perayaan pujian dan “kesuksesan” menangani pandemi yang terserak di media cetak dan daring yang sudah “dibeli” dengan advertorial. Kesan jumawa itu, bagi saya, terlihat gamblang.
Sementara itu, bagaimana situasi rakyat Bali di tapak? Bagi saya, jauh dari narasi kesuksesan dan puja-puji tersebut. Kita perlu menengok ke bawah. Namun apa lacur, rakyat bagi sang kuasa hanya barisan statistik yang setiap hari dilaporkan oleh Satgas Covid-19. Bagaimana mereka makan, berjuang untuk tetap hidup, menerima stigma bagi yang terpapar, tidaklah penting. Bagaimana mereka bernegosiasi untuk mengikuti himbauan dan instruksi, sementara ketahanan ekonomi mereka semakin menurun, bukanlah tugas negara.
Rakyat dibatasi aktivitasnya melalui kebijakan PKM (Pembatasan Kebijakan Masyarakat). Bagi birokrat, yang terpenting adalah merancang dan melaksanakan kebijakan. Urusan rakyat diatur kemudian. Yang penting ada kebijakan yang bisa diambil. Bussines as usual. Sementara itu, rakyatlah yang bersiasat untuk terus berjuang dalam hidupnya. Tidaklah mermartabat jika terus merengek meminta bantuan. Rakyat harus berjuang untuk hidupnya sendiri.
Hal lainnya adalah kepolosan para pemimpin, birokrat, dan para elit politik, yang hanya pada saat wabah atau tragedi, baru tersadarkan menjadi actor perantara (brokerage) dari tragedi eksploitasi alam dan manusia Bali. Mereka baru menyadari menjadi cecunguk kuasa global yang mengeruk kekayaan alam dan manusia Bali melalui pariwisata.
“Dimana orang yang ambil untung selama berpuluh tahun (di Bali)?” Mereka sudah tentu sekarang cari selamat dan akan (kembali) mengeruk keuntungan di Bali. Saya masih percaya dengan pengetahuan yang dipandu oleh nilai pemihakan kepada keadilan dan kemanusiaan. Untuk keadilan dan kemaslahatan kemanusiaanlah pengetahuan itu hadir.
Namun, sudah tentu, dibalik pengetahuan ada kuasa. Kepemimpinan yang menganggap dirinya berada di atas pengetahuan dan rakyat sejatinya meniadakan pemihakan tersebut. Pengetahuan hanya sekadar alat untuk meraih pujian, kesuksesan, dan kuasa. Bagi mereka, pengetahuan dan rakyat itu tidaklah penting-penting amat.
Penulis:
I Ngurah Suryawan
Antropolog dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Warmadewa. Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).
Reporter: bbn/opn