Para Elit dan Politisasi Adat
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Masyarakat adat dengan para tokohnya menyeruak melalui media dengan berbagi aktivitasnya. Di Bali, Majelis Desa Adat (MDA), menjadi organisasi masyarakat adat Bali yang memiliki peranan penting, terutama relasinya dengan aparat pemerintah daerah yang begitu mesra.
Suntikan dana mengalir untuk pemberdayaan desa adat. Desa adat berperan aktif dalam mensukseskan program-program pemerintah pada tingkat tapak. Pemerintah Bali setelah membangun Gedung MDA Provinsi Bali memiliki komitmen untuk membangun kantor representatif untuk 9 Majelis Desa Adat (MDA) Kabupaten/Kota se-Bali tahun 2020 dan 2021.
Salah satunya adalah pembangunan Kantor MDA Kabupaten Karangasem dengan anggaran Rp 3,30 miliar. Peletakan batu pertama pembangunan Kantor MDA Kabupaten Karangasem dilakukan Gubernur Bali, I Wayan Koster di Jalan Ngurah Rai Amlapura pada Minggu, 23 Agustus 2020.
Kantor yang dibangun dua lantai ini bukan hanya untuk Sekretariat MDA Kabupaten Karangasem, namun juga jadi Sekretariat PHDI Karangasem dan Forum Perbekel Kabupaten Karangasem. Pembangunan Kantor MDA Karangasem ini menelan anggaran Rp 3,30 miliar, yang bersumber dari CSR (Corporate Social Responsibility) BMUD dan BUMN. Gedung dibangun di atas lahan seluas 7,8 are milik Pemprov Bali.
Sebelum peletakan batu pertama pembangunan MDA Karangasem, di hadapan puluhan bendesa adat dan perbekel se-Karangasem, Ketua DPD PDIP Bali, Wayan Koster, memperkenalkan dan menitip paket Calon Bupati-Calon Wakil Bupati (Cabup-Cawabup) Karangasem yang diusung PDIP bersama Hanura, I Gede Dana dan I Wayan Arta Dipa (Dana-Dipa). Pernyataan Koster yang juga Gubernur Bali ini disampaikan saat bertatap muka di Gedung Yayasan Yasa Kerthi, Jalan Ngurah Rai Amlapura sebelum melakukan acara peletakan batu pertama pembangunan Gedung Sekretariat Majelis Desa Adat (MDA) Karangasem.
Politisasi Elit
Kebangkitan masyarakat adat, dalam hal ini di Bali disebut dengan desa pakraman/desa adat, memiliki perjalanan panjang. Pasang surut perjalanannya sangat ditentukan dengan relasi yang dijalankan dengan negara dan kekuasaan supra-desa adat lainnya, termasuk di dalamnya adalah bernegosiasi dan bersikap menghadapi hadirnya investasi. Sebelum mengalami periode kebangkitan pasca reformasi 1998 dan desentralisasi daerah menguat, masyarakat-masyarakat adat di seluruh negeri ini dicengkram sangat kuat dalam otoritas negara dan aparatusnya.
Jika kita menengok kembali ke belakang, istilah masyarakat adat dilahirkan oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam sebuah pertemuan pada tahun 1993 sebagai terjemahan dari Indigenous People, sebagaimana diakui dalam hukum internasional. Istilah ini masuk alam arena debat publik pada tahun 1999 melalui sebuah kongres nasional yang akhirnya melahirkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Pada masa awal kebangkitan masyarakat adat ini, pandangan romantik sangat mendominasi. Para aktivis masyarakat adat ini mengungkapkan bahwa menemukan masih ada komunitas di Indonesia yang hidup dalam harmoni dengan lingkungannya, memiliki pengetahuan ekologis yang asli, memiliki tanah berdasarkan kepemilikan komunal dan melestarikan bentuk-bentuk pemerintahan sendiri yang otonom dan demokratis berbasis tradisi. Ia menyebutkan penemuan itu sebagai “oase di tengah gurun”.
Masyarakat adat dalam pandangan romantik ini direpresentasikan memiliki pola hidup yang unik dan autentik yang bisa diterapkan di seluruh Indonesia di masa depan. Jika masyarakat adat dipulihkan dan digalakkan untuk mempertahankan keaslian mereka sendiri, maka mereka akan mereformasi seluruh masyarakat, mulai dari bawah.
Namun, kondisi yang terjadi adalah rezim otoritarian Orde Baru adalah sangat individualistik, tamak, perusak ekologi, menekan masyarakat adat melalui modernitas, kontrol oleh lembaga keuangan internasional, hilangnya otonomi ekonomi, politik, budaya. Keseluruhan itulah yang menjadi karakteristik dari globalisasi yang diangkut oleh rezim otoritarian Orde Baru (Tania Li, 2010: 375-376).
Selain pengaruh besar kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, perubahan relasi state dan society juga terjadi pada pasca rezim otoritarian Orde Baru berkuasa. Salah satu karakteristik penting dari perubahan interaksi antara state (negara) dan society (masyarakat) adalah bahwa masyarakat tidak lagi sepenuhnya terpinggirkan, baik dalam proses pengambilan keputusan, maupun dalam pelaksanaan kebijakan.
Namun, peran masyarakat lebih banyak diwakili oleh elit masyarakat (societal actors). Dalam kondisi seperti ini, maka sulit dihindari jika kemudian proses pengambilan keputusan, baik di tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, telah lebih banyak diwarnai oleh kondisi dan tawar-menawar kepentingan antara societal actors pada satu sisi, dan state actors (para elit penyelenggara negara), pada sisi yang lain.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah menjadi momentum penting menguatnya kembali peranan para elit lokal dan juga para elit masyarakat adat dalam hal ini. Partisipasi masyarakat pada akhirnya hanya terhenti pada representasi para elit ini. Para elit masyarakat ini membuka ruang dan menemukan kesempatan untuk membangun dan mengembangkan jaringan informal (informal networks) dengan para elit penyelenggara pemerintahan di daerah (Hidayat, 2014: 302-303).
Studi komprehensif yang dikumpulkan oleh Hanley, Davidson, dan Moniaga (2010) juga mencatat bahwa kebangkitan adat yang sedang terjadi sekarang ini di daerah-daerah sudah cenderung untuk memperkuat kekuasaan elit-elit local. Para elit ini dengan sangat lihat mengkaitkan dirinya dengan adat sebagai sebuah basis legitimasi politik dan organisasi. Para elit ini, sudah tentu didominasi oleh laki-laki, sangat diistimewakan dengan basis legitimasi politik dan organisasi dari adat tersebut.
Implikasi yang juga sangat serius dari kebangkitan adat dengan para elitnya adalah sebagai alat etnoteritorialisasi. Selain itu, kebangkitan adat juga beresiko sebagai lahan manipulasi elit terhadap adat untuk tujuan politik (Tania Li, 2010). Melihat begitu besarnya perhatian pemerintah terhadap desa adat di Bali, kita perlu melihatnya sebagai dalih untuk memanipulasi adat demi tujuan politik.
Penulis
I Ngurah Suryawan
Antropolog dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, Universitas Warmadewa.
Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).
Reporter: bbn/opn