Pariwisata di Bali Hanya Dijadikan Bonus
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Bali silih berganti mengalami krisis. Pada tahun 1963, Gunung Agung Meletus dan tahun 1965 terjadi pembantaian massal sesama orang Bali. Dampaknya adalah terjadi transmigrasi besar-besaran orang Bali ke luar Bali.
Setelah pembangunan pariwisata pada Orde Baru digenjot, Bali berubah wajah menjadi etalase pariwisata Indonesia. Bom Bali 2002 dan 2005 serta berbagai wabah virus serta letusan Gunung Agung tidak membuat Bali lari dari ketergantungan terhadap pariwisata. Pertanian terus dijadikan alternatif tetapi tidak pernah digarap secara serius. Keduanya, pariwisata dan pertanian, saling meniadakan.
Untuk menemukan jawaban tersebut, Warmadewa Research Centre (WaRC) yang sedang melakukan penelitian tentang Bagaimana Bali Bangkit? Alternatif Kebijakan di Masa Pandemi menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tajuk Kebangkitan Bali Dari Inspirasi Lokal pada 15 Oktober 2020 secara daring.
FGD secara online ini menghadirkan enam pembicara yang berperan langsung di bidang pertanian, lingkungan, dan sosial di Bali, diantaranya Wayan Sukadana (Founder Nusa Penida Farm), Kholik Mawardi (Solidaritas Pangan Bali), Kadek Gunarta (Founder Balispirit Festival dan Yoga Barn Ubud), Dwitra J Ariana (Petani & Pembuat Film), I Nengah Sumerta (Forum Petani Muda Bali), dan Catur Yuda Hariyani (PPLH Bali). FGD ini dipandu oleh I Ngurah Suryawan, Dosen FISIP Unwar dan peneliti di WaRC.
Pariwisata hanya Bonus
Saat pandemic Covid-19 mewabah, pariwisata yang rapuh betul-betul runtuh. Bali dan seluruh destinasi pariwisata mengalami dampaknya. Menengok ke pertanian memerlukan visi ke depan dan daya dukung yang menyeluruh. Akibat pariwisata yang meniadakan pertanian, membuat seluruh elemen kehidupan tergantung pada pariwisata.
“Pariwisata terlalu industri sehingga mengabaikan tata ruang wilayah, sektor alternatif lain, dan lingkungan secara umum,” tutur Wayan Sukadana, inisiator Nusa Penida Farm.
Pariwisata yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat Bali mengalami perhentian aktivitas secara tiba-tiba. Masyarakat Bali menjadi sangat rentan terhadap krisis sosial dan ekonomi karena denyut nadinya bergantung kepada pariwisata.
Namun, di sisi lainnya, krisis yang terjadi pada masa pandemi COVID-19 memberikan situasi "turning point" yang memampukan kelompok masyarakat bahu-membahu membantu masyarakat lainnya untuk dapat mandiri dan "resilient" hingga menjadi basis ketahanan masyarakat.
I Nengah Sumerta, pegiat Petani Muda Keren mengungkapkan bahwa kesadaran orang Bali masih menjadikan pariwisata sebagai adalah segala-galanya. Hal ini menyebabkan seluruh elemen masyarakat melupakan bahwa banyak sektor-sektor lain yang harus digarap sebagai daya dukung pariwisata.
“Jadikan pariwisata hanya bonus sajalah, jangan utama. Jadi Ketika pariwisata krisis kita tidak lumpuh karena masih ada pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan yang kita jadikan pendukung pariwisata,” ungkap Nengah.
Kebangkitan Bali dari Inspirasi Lokal merupakan suatu tema diskusi yang berangkat dari fenomena solidaritas sosial dan kembalinya masyarakat ke sektor pertanian pada masa pandemi COVID-19 dari perhentian aktivitas pariwisata secara tiba-tiba untuk dapat mengatasi krisis sosial dan ekonomi.
Aksi solidaritas sosial ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu aksi karikatif (charity) dan aksi pemberdayaan (empowerment). Aksi ini muncul atas rasa persamaan pandangan bahwa COVID-19 bukan sekedar persoalan individu melainkan persoalan bersama yang harus diatasi bersama.
Kadek Gunarta, inisiator Bali Spirit Festival mengamati dalam setiap krisis yang melanda Bali pariwisata selalu menemukan karakternya sendiri. Pasca Bom Bali 2002 dan 2005, wisatawan mulai takut akan keramaian dan mulai beralih kepada wisata lingkungan, religi, dan menikmati lingkungan dan budaya.
Pariwisata Bali yang berkembang alpa untuk melihat harga ekonomi dan sosial budaya yang harus ditanggung masyarakat Bali. Ia menyakini bahwa ke depannya pasca pandemi, pariwisata paling tidak harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, lingkungan, dan spiritual yang lekat dengan Bali. Dalam konteks yang luas, pariwisata harus memberikan jaminan kepada masyarakat pada keberlanjutan ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya.
Sumber: FGD “Kebangkitan Bali Dari Inspirasi Lokal” Warmadewa Research Centre (WaRC)
Reporter: bbn/rls