search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Bawang Putih Sebagai Pengganti Formalin dalam Pengawetan Makanan
Rabu, 13 Oktober 2021, 13:45 WITA Follow
image

beritabali/ist/Bawang Putih Sebagai Pengganti Formalin dalam Pengawetan Makanan.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Bawang putih bagi masyarakat umum lebih dikenal sebagai bahan bumbu dapur. Kenyataanya bawang putih dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan pengganti formalin. 

Kemampuan bawang putih ini terungkap dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Pakar biokimia gizi dan makanan dari jurusan kimia FMIPA Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya, Dr. NL. Ida Soeid, MS. Caranya dengan menggunakan beberapa siung bawang putih, kemudian digerus atau diparut. 

Hasil gerusan dicampur air secukupnya dan kemudian disaring. Air saringan bawang putih dapat digunakan untuk mengawetkan makanan seperti mi basah, tahu dan ikan segar. Kandungan antiseptik dari bawang putih diyakini mampu membuat bahan makanan bertahan hingga 2 hari. 

Tentunya hasil penelitian tersebut sangat berguna di tengah isu penggunaan formalin pada bahan makanan yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan manusia. 
Jika dilihat dari klasifikasinya, bawang putih termasuk tumbuhan dalam Kelas Liliopsida, dalam Ordo Asparagales, dengan Famili Alliaceae, dan Genus Allium, serta Spesies A. Sativum.  

Pada umbi bawang putih terungkap adanya kandungan karbohidrat, protein, dan zat organis lemak. Selain itu adanya kandungan zat hara belerang, besi, kalsium, dan fosfat dalam umbi bawang putih. Kandungan yang paling istimewa dalam umbi bawang putih yaitu kandungan minyak atsiri yang memiliki bau khas bawang putih yang diberi nama Allicin. 

Allicin berupa gugus kimiawi yang tersusun oleh beberapa jenis sulfida, dan yang paling banyak adalah Allyl sulfide. Sulfida dalam hal ini mengandung unsur zat hara belerang. Kandungan Allicin menyebabkan umbi bawang putih memimiliki daya antimikroba. 

Dalam waktu 5 menit ekstrak bawang putih dalam larutan air dengan konsentrasi 0,5 %, dapat mematikan basilus tipus. Terdapat efek bakteriostatis dan bakterisidal dari getah bawang putih, ekstrak bawang putih serta Allicin terhadap meningococcus, staphilococcus, basilus difter, basilus tubercu-losis, dan vibrioklerae. 

Bawang putih dalam bentuk cairan mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan basilus tuberkulosis. Namun pengaruh bakteriostatis bawang putih dapat berkurang apabila dilakukan penambahan serum (Ida Untari, 2010).
 Efektivitas bawang putih dalam pengawetan makanan telah teruji dan hasilnya dapat dilihat dari berbagai penelitian yang ada. 

Salah satunya yang dilakukan oleh Ria Mariana Mustafa (2006) dari Program Studi Gizi Masyarakat Dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa efektivitas pengawetan tahu dengan menggunakan bawang putih mampu mempertahankan mutu tahu hingga 2 hari masa penyimpanan. 

Kemampuan bawang putih dalam mempertahankan mutu tahu hampir sama dengan efektivitas bahan pengawet alami lainnya seperti kunyit, kayu manis, dan biji pala. 
Dalam penelitian yang dilakukan Sumpeno Putro, dkk (2008) menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih juga dapat memperpanjang masa simpan ikan kembung segar. 

Dalam penelitian dilakukan perendaman ikan segar ke dalam ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 0, 2, 4, dan 6% selama 15 menit. Perendaman dengan bawang putih ternyata menyebabkan pertumbuhan bakteri terhambah. Pertumbuhan bakteri yang dihambat yaitu bakteri pembusuk dan bakteri pembentuk histamin. 

Perendaman dengan kadar ekstrak bawang putih sebesar 2, 4, dan 6% pada kondisi suhu kamar menyebabkan daya simpan ikan kembung segar lebih panjang. Dimana daya tahan  6 jam lebih lama dibandingkan dengan ikan yang tidak diberikan ekstrak bawang putih. Perendaman ikan dalam ekstrak bawang putih secara uji organoleptik  juga memberi nilai tambah lainnya yaitu mengurangi bau amis. 

Pengujian terkait penggunaan ekstrak bawang putih untuk pengawetan makanan juga diakukan terhadap bakso sapi. Penelitian yang dilakukan oleh Mey Angraeni Tamal dari Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur bertujuan untuk melihat kemampuan penyimpanan dan pengaruh ekstrak bawang putih terhadap perkembangan bakteri Staphylococcus aureus. Selain itu juga untuk mengetahui ketengikan bakso, kelentingan serta organoleptik bakso. Hasilnya ekstrak bawang putih mampu menurunkan perkembangan bakteri Staphylococcus aureus. 

Perendaman dengan ekstrak bawang putih juga mampu mempertahankan kelentigan bakso. Hasil uji organoleptip justru memperlihatkan bahwa nilai kesukaan terhadap citarasa meningkat dan meningkatkan kekenyalan bakso. Dalam bahasa Inggris bawang putih biasa disebut dengan nama Garlic. Bagi masyarakat Asia, bawang putih termasuk salah satu bagian bumbu dapur yang sangat umum. 

Menurut Ida Untari (2010), bahwa bawang putih memberi rasa harum yang khas pada makanan  dan menurunkan kadar kolesterol. Sehingga masakan Jepang, Korea dan Cina cenderung menggunakan bawang putih. Pada awalnya Bawang putih merupakan tumbuhan daerah dataran tinggi, namun kenyataanya sekarang di Indonesia, terdapat jenis tertentu dari bawang putih yang dibudidayakan di dataran rendah. Secara umum bawang putih akan tumbuh dengan baik pada ketinggian 200-250 meter di atas permukaan laut. 

Penggunaan bawang putih diprediksi pertama kali berawal dari wilayah Asia Tengah. Perkirakan tersebut berdasarkan bukti temuan sebuah rekam medis sekitar 5000 tahun yang lalu  yaitu sekitar 3000 SM. 

Perkembangan di Asia Tengah kemudian tersebar ke berbagai belahan dunia dan juga ke Indonesia. Sejak tahun 2600-2100 bangsa Sumeria telah menggunakan bawang putih untuk pengobatan. Bangsa Mesir memanfaatkan bawang putih untuk mempertahankan stamina tubuh pekerja dan olahragawan sejah 1550 SM. 

Penggunaan bawang putih oleh Bangsa Mesir kemudian ditiru oleh bangsa Yahudi kuno dan sekaligus menyebarkan pemanfaatan bawang putih ke Semenanjung Arab. Penduduk Romawi terutama kalangan budak dan para tentara juga telah lama mengkonsumsi bawang putih. 

Begitu juga bagi penduduk Cina dan Korea yang menggunakan bawang putih sebagai pengusir roh jahat dan obat. Jika dicermati bawang putih tumbuh dengan membentuk umbi lapis. Dalam satu umbi lapis terdiri dari 8-20 siung atau yang lebih lumrah disebut sebagai anak bawang. Masing-masing siung terpisahkan oleh kulit yang tipis dan liat. 

Kulit-kulit tipis tersebut membentuk satu kesatuan yang rapat dan kuat. Bawang putih tumbuh secara berumpun dengan berdiri tegak dengan tinggi sekitar 30-75 cm dan biasa dikenal sebagai tanaman herbal parenial. Bawang putih memiliki batang semu yang berupa pelepah daun yang biasanya terlihat seperti bagian batang yang nampak diatas permukaan tanah. 

Padahal batang yang sebenarnya tertanam di dalam tanah. Terdapat sekitar 100 metabolit sekunder dalam bawang putih. Metabolit sekunder tersebut berfungsi sebagai benteng pertahanan diri dari kerusakan yang diakibatkan oleh mikroorganisme dan faktor luar lainnya. 

Metabolit sekunder ini kebanyakan mengandung belerang yang bertanggungjawab dalam hal sifat-sifat farmakologi bawang putih, rasa, dan aroma (Udhi Eko Hernawan & Ahmad Dwi Setyawan, 2003).

Darmadi dan  Riska Habriel Ruslie dari RSUD Z.A. Pagar Alam, Lampung dalam tulisanya berjudul “Peranan Bawang Putih Terhadap Hipertensi” menjelaskan bahwa bawang putih sudah lama digunakan sebagai penyedap rasa dan mempunyai keuntungan dalam mencegah dan mengobati berbagai penyakit. 

Bawang putih dimasukkan dalam klasifikasi obat herbal karena kemampuannya dalam memberi efek relaksasi otot polos pembuluh darah. Studi eksperimental juga memberikan gambaran  adanya beberapa efek dari bawang putih, termasuk efek aktivasi sintesis nitric oxide endotel dan hiperpolarisasi membran sel otot, sehingga dapat menurunkan tonus pembuluh darah. Sejak zaman Mesir kuno, bawang putih telah digunakan dalam upaya diet. 

Bawang putih juga dikonsumsi kelas pekerja setiap hari seperti oleh pekerja kasar dalam membangun piramida. konsumsi bawang putih yang diberikan terhadap kelas pekerja diharapkan untuk menjaga dan meningkatkan stamina mereka sehingga dapat bekerja lebih keras dan produktif.

Sedangkan Peneliti dari Institute Pasteur di Perancis Dr. Gilles Fillion menjelaskan bahwa salah satu manfaat bawang putih bagi kesehatan  yaitu membantu meredakan stress, kecemasan dan depresi. Dr. Gilles beralasan bahwa hal ini terjadi karena bawang putih memiliki peran untuk membantu tubuh dalam melepaskan serotonin.  

Serotonin berupa bahan kimia yang memiliki keterlibatan dalam pengaturan serangkaian tingkah laku dan suasana hati termasuk murung. Serotonin juga sangat berpengaruh terhadap kecemasan, rasa sakit, agresi, kurang tidur, stress dan ingatan. Tingginya kandungan  serotonin dalam otak bermanfaat sebagai obat penenang, meringankan kemurungan, dan memudahkan tidur. 

Pada sisi lain, bawang putih juga menolong menormalkan sistem serotonin. Sementara Udhi Eko Hernawan dan Ahmad Dwi Setyawan (2003) memaparkan bahwa  secara tradisional umbi bawang putih sudah lama digunakan oleh masyarakat sebagai obat gangguan pernafasan, tekanan darah tinggi, kolesterol, flu, tekanan darah tinggi, sakit kepala, sembelit, ambeien, luka memar atau sayat, gangguan saluran, cacingan, insomnia, kencing, dan lain-lain. 

Penelitian ilmiah lainnya juga menjelaskan bahwa  umbi bawang putih bermanfaat sebagai obat anti-hipertensi, anti-kolesterol, anti-diabetes, anti-atherosklerosis, anti-agregasi sel platelet, anti-oksidan, pemacu fibrinolisis, anti-mikrobia, anti-virus, dan antikanker. Penelitian terhadap penggunaan bawang putih sebagai pengawet sudah cukup banyak. 

Bahkan bawang putih sejak zaman yunani dan Romawi telah digunakan tidak saja sebagai bumbu dapur tetapi juga sebagai obat herbal. Namun kenyataanya penggunaan formalin dalam makanan sebagai pengawet kian marak. Maraknya penggunaan formalin tentu memiliki alasan tersendiri. 

Pertama, pedagang ingin mendapatkan keuntungan yang besar. Apalagi bahan pengawet formalin dan boraks memiliki mutu yang bagus, harganya pun murah. Jika dilihat dari segi pengetahuan, penggunaan formalin terjadi karena tingkat pengetahuan yang minim. Belum lagi konsumen cenderung membeli makanan yang murah, tanpa melihat kualitas. 

Akibat pengetahuan yang rendah menyebabkan konsumen sulit membedakan makanan yang mengandung dan tidak mengandung formalin, boraks. Kedua, akibat mudahnya penjualan bahan kimia seperti boraks dan rhodamin B di pasaran. Hal ini tentu sebagai dampak dari kurangnya pengawasan dari Lembaga pangan, untuk memantau peredaran makanan yang mengandung zat berbahaya. 

Dalam majalah InfoPOM edisi Juli 2004 disebutkan bahwa penggunaan formalin dalam bahan makanan sangat dilarang. Hal ini juga sesuai dengan surat keputusan menteri kesehatan (SK Menkes) RI No.722 tahun 1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Formalin (formaldehid) sebagai pengawet bahan makanan umumnya secara kimia merupakan hasil sintesis. 

Formaldehid unsur berbentuk gas dan biasanya tersedia dalam bentuk larutan dengan konsentrasi 40 % (formalin). Formalin secara fisik berupa cairan jernih, tidak berwarna dengan bau menusuk. Kontaminasi uap formalin akan merangsang atau bereaksi dengan cepat terhadap selaput lendir pada hidung, saluran tenggorokan dan saluran pencernaan. Kontaminasi pada mata dapat mengakibatkan terjadinya iritasi mata. 

Pada kadar 0.5 hingga 1 bpj di udara tidak dapat terlihat, namun dapat diidentifikasi dari baunya. Pada kadar 2 hingga 3 bpj dapat mengakibatkan iritasi ringan. Dalam kadar 4 hingga 5 bpj secara umumnya tidak akan mampu ditoleransi oleh tubuh manusia. Penggunaan formalin secara umum selama ini dimanfaatkan untuk mengawetkan serangga, hewan serta mayat manusia. Formalin pada dasarnya berperan sebagai desinfektan. 

Formaldehid bersifat astringent dan berfungsi sebagai bakterisid dengan cara denaturasi. Pada industri kosmetika formalin digunakan sebagai deodorant dan antihidrolitik. Kontaminasi formaldehid pada tubuh hewan bersifat karsinogenik. Terbukti berdasarkan hasil penelitian menggunakan hewan percobaan yang dipaparkan dengan formaldehid dengan kadar 6 hingga 15 bpj dalam waktu 2 tahun memperlihatkan bahwa formaldehid menginduksi squamous-cell carcinoma pada rongga hidung tikus dan mencit. 

Dalam upaya melindungi konsumen dari ancaman kandungan bahan berbahaya seperti formalin, maka pemerintah menerbitkan Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan. Dalam Undang-undang  pangan sudah sangat tegas dinyatakan bahwa dilarang menggunakan bahan tambahan pangan yang berbahaya, apalagi hingga melebihi ambang batas yang ditentukan.  

Seperti  yang termuat dalam pasal 10 yang menyebutkan “setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan”. 

Bukan hanya memberi tambahan bahan berbahaya, produsen juga dilarang mengedarkan pangan yang menandung bahan berbahaya. Larangan tersebut dapat dilihat dari pasal 21 yang menyebutkan bahwa. “Setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia; pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan; pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia; pangan yang sudah kedaluwarsa”.

Peneliti dari Laboratorium Biokimia, Jurusan Kimia FMIPA-UB, Prof. DR. Ir. Chanif Mahdi, MS memaparkan bahwa selama ini penggunaan formalin sebagai pengawet makanan dilakukan oleh produsen untuk mengurangi biaya produksi. Walaupun dikategorikan sebagai bahan pegawet ilegal, tetapi kenyataanya dari segi harga paling paling murah efisien dan efektif. 

Dimana dengan uang Rp.15.000 sudah mendapatkan 1 liter formalin. sebanyak 1 liter formalin rata-rata dapat digunakan untuk mengawetkan 10 ton ikan segar, tahu dan mie basah. Sebagai bahan perbandingan, jika menggunakan es balok memerlukan sekitar 350 balok es, dengan harga sekitar 4,2 juta rupiah. 

Dampak formalin bagi kesehatan sangat membahayakan baik jangka pendek maupun panjang. Formalin yang masuk ke tubuh akan terakumulasi dalam sel. Selanjutnya disalam sel akan bereaksi dengan protein seluler (enzim) dan DNA ( Mitokondria dan nucleus). International programme on chemical safety (IPCS) menyebutkan ambang batas formalin  yang boleh masuk ke dalam tubuh adalah 1 mg dalam pangan. 

Kadar Formalin yang boleh masuk dalam tubuh antara 1,4 sampai 14 mg. Apabila formalin masuk kedalam tubuh melebihi ambang batas dapat mengakibakan gangguan pada organ dan sistim tubuh. Winarno dan Rahayu (1994) menyebutkan terdapat beberapa gejala yang menjadi pertanda bahwa tubuh manusis mengalami keracunan formalin dari makanan. 

Gejala-gejalan tersebut diantaranya sukar menelan, sakit perut akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, timbulnya depresi susunan saraf, atau gangguan peredaran darah. Apabila kandungan formalin dalam makanan yang dikonsumsi cukup tinggi maka dapat  mengakibatkan kejang-kejang, kencing darah, dan muntah darah yang berakhir dengan kematian. 

Keracunan formalin dalam jangka waktu yang panjang dan berulang dapat diamati dari gejala awal seperti ; iritasi kemungkin parah, mata berair, gangguan pada pencernaan, hati, ginjal, pankreas, system saraf pusat, menstruasi dan pada hewan percobaan dapat menyebabkan kanker. 

Sedangkan pada manusia diduga bersifat karsinogen. Peneliti dari Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Surabaya, Wiwi Wikanta mencoba melakukan kajian mengenai pandangan masyarakat terkait penggunaan formalin dalam makanan.  

Hasilnya memperlihatkan jika masyarakat telah mengetahui kasus bahan makanan berformalin dan menolak penggunaannya. Kenyataanya masyarakat belum mampu melakukan usaha tindakkan pencegahan. Pada sisi lain, penegakan hukum bagi oknum pelanggar juga masih lemah. 

Penulis

I Nengah Muliarta

Akademisi Fakultas Pertanian 

Universitas Warmadewa

Reporter: bbn/mul



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami