search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Berkah Sampah di Masa Pandemi Dalam Bentuk Biodisinfektan
Jumat, 18 Februari 2022, 12:55 WITA Follow
image

beritabali/ist/Berkah Sampah di Masa Pandemi Dalam Bentuk Biodisinfektan.

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Disinfektan menjadi barang yang dibutuhkan dan penting saat masa pandemi. Penggunaanya pada permukaan benda diyakini mampu mencegah penyebaran virus, jamur, dan bakteri. 

Disinfektan yang umum digunakan selama ini adalah disinfektan sintentik, dimana penggunaannya yang berkepanjangan dapat berdampak pada kesehatan dan pencemaran lingkungan. Kenyataanya kebutuhan disinfektan dapat dipenuhi dengan memanfaatkan bahan alam yang ada di sekitar kita yang umum disebut biodisinfektan

Bahan alam yang ada disekitar kita dapat berupa sisa buah, kulit buah dan sisa sayuran yang umum kita sebut sebagai sampah. Melalui proses fermentasi, bahan berupa sisa buah, kulit buah dan sisa sayuran diubah menjadi enzim sampah atau yang lebih keren disebut sebagai eco-enzyme. 

Istilah Eco-enzyme pertama kali diperkenalkan oleh seorang pendiri Asosiasi Pertanian Organik, Thailand Dr. Rosukon Poompanvong setelah melakukan penelitian sejak tahun 1980-an. Eco-enzyme kemudian diperkenalkan secara lebih luas oleh Seorang peneliti Naturopatidari Penang, Malaysia, Dr. Joean Oon.

Lapsia Vama dan Makarand N. Cherekar dalam sebuah artikel berjudul “Production, Extraction And Uses of Eco-Enzyme Using Citrus Fruit Waste: Wealth From Waste” yang dipublikasikan di Asian Journal of Microbiology, Biotechnology & Environmental Sciences menyatakaneco-enzyme merupakan larutan warna coklat tua yang dihasilkan dari fermentasi sampah dengan komposisi sampah, air dan gula merah dengan perbandingan 3: 10: 1. 

Artinya enzim sampah ini dapat dibuat oleh siapa saja, baik dalam skala besar dan skala kecil atau rumah tangga. Produksi eco-enzyme selain menjadi solusi penyediaan biodisinfektan secara gratis juga menjadi bentuk kontribusi dalam upaya pengurangan pembuangan sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA). 

Neny Rochyani, Rih Laksmi Utpalasari, dan Inka Dahliana dalam artikel berjudul Analisis Hasil Konversi Eco-Enzyme Menggunakan Nenas (Ananas comosus ) dan Pepaya (Carica papaya L.) yang dipublikasikan pada Desember 2020 di Jurnal Redoks menyebutkan bahwa eco-enzyme merupakan asamasetat (H3COOH), yang memiliki kemampuan membunuh kuman, virus dan bakteri. 

Kandungan enzim yang dimiliki diantaranyalipase, tripsin, amilase dan mampu mencegah bakteri patogen. Karuna Neupane dan Rama Khadka dalam artikel berjudul Production of Garbage Enzyme from Different Fruit and Vegetable Wastes and Evaluation of its Enzymatic and Antimicrobial Efficacy yang dipublikasikan tahun 2019 dalam Tribhuvan University Journal of Microbiology mengungkapkan bahwa jenis buah atau sayuran yang berbeda memberikan perbedaan aktivitas enzim dan aktivitas antimikroba. Enzim yang dihasilkan dari sampah menunjukkan aktivitas sifat antimikroba dengan bakteri Gram positif dan Gram negatif.

Pengolahan sampah rumah tangga berupa sisa buah dan sayur menjadi eco-enzyme merupakan salah satu implementasi dari upaya pengelolaan sampah berbasis sumber. Berbasis sumber karena selama ini rumah tangga merupakan salah satu sumber sampah. Produksi eco-enzyme setidaknya membantu mengurangi volume sampah yang terbuang ke luar rumah. 

Rumah tangga secara tidak langsung mampu mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki, sehingga sumber daya yang terbuang semakin kecil, bahkan tidak ada. Upaya ini menjadi bagian dari penerapan program zero waste di lingkungan rumah tangga. Pembuatan eco-enzyme menjadi bentuk pembelajaran bagi masyarakat untuk betanggungjawab terhadap sampah yang dihasilkan. Buntutnya terjadi pengurangan pembuangan sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA). 

Pengiriman sampah ke TPA masih menjadi solusi karena selama ini sampah masih dipandang sebagai bahan buangan yang tidak berguna. Sampah pada tingkat rumah tangga juga masih dipandang sebagai salah satu masalah dan sumber penyakit. Pemikiran ini terjadi karena sampah belum dipandang sebagai bahan baku yang harus diolah menjadi produk berguna. 

Umumnya sampah di TPA cenderung di tumpuk sehingga menghaasilkan gas methan yang berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Menurut Rini, T.S dan kawan-kawan dalam sebuah artikel yang berjudul “Kajian Potensi Gas Rumah Kaca dari Sektor Sampah di Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA) Randegan, Kota Mojokerto” yang dipublikasikan dalam Journal of Research and Technology, tahun 2020 disebutkan bahwaemisi gas rumah kaca berupa gas CH4 yang memiliki potensi pemanasan gobal 21 kali lebih besar dari pada gas karbon dioksida (CO2). Artinya semakin banyak sampah yang ditumpuk maka produksi gas methan juga semakin meningkat. 

Mengolah sampah rumah tangga, khususnya sampah dapur berupa sisa sayur, buah dan kulit buah menjadi eco-enzyme adalah bentuk pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Pengelolaan berbasis masyarakat setidaknya akan menggugah kesadaran masyarakat untuk mulai mengelola sampahnya sendiri. 

Kesadaran yang tumbuh secara mandiri diharapkan nantinya akan mempengaruhi prilaku, sehingga pengelolaan sampah tersebut menjadi gaya hidup masyarakat. Apabila perubahan prilaku terjadi maka pengelolaan sampah sayur dan buah menjadi eco-enzymeakan menjadi gerakan yang berkelanjutan. Tantanganya kemudian adalah melakukan sosialisasi produksi eco-enzyme pada masyarakat, sehingga teknik pembuatan dapat dipahami oleh masyarakat. 

Sosialisasi pembuatan eco-enzyme memang penting, namun perlu juga adanya inovasi pembuatan eco-enzyme . Inovasi dalam artian membuat secara sederhana, praktis dan cepat, tetapi memiliki kualitas yang baik. Cara pembuatan cepat dan praktis dibutuhkan karena kesibukan dari anggota keluarga menyebabkan waktu untuk membuat eco-enzyme sangat terbatas. 

Masyarakat juga umumnya dapat menggunakan peralatan yang ada di rumah sehingga tidak memerlukan biaya lagi untuk menyediakan peralatan tambahan. Memang untuk waktu produksi eco-enzyme masih memerlukan waktu yang panjang yaitu 3 bulan. Waktu yang mencapai 3 bulan masih menjadi pedoman umum untuk menghasilkan eco-enzyme yang matang. 

Sementara Made Rai Rahayu dan kawan-kawan dalam sebuah artikel berjudul “Acceleration of Production Natural Disinfectants from the Combination of Eco-Enzyme Domestic Organic Waste and Frangipani Flowers (Plumeria alba)” yang dipublikasikan diSEAS (Sustainable Environment Agricultural Science tahun 2021 mengungkapkan produksi eco-enzyme dapat dipercepat menjadi hanya 8-10 hari dengan menambahkan ragi. 

Eco-enzyme yang dihasilkan juga dapat digunakan sebagai disinfektan karena memiliki kandungan alkohol mencapai 60-70%. Selain itu, memiliki kemampuan daya hambat sangat kuat, karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada kisaran 31,85-34,41 mm.

Berbicara mengenai standar kualitas eco-enzyme hingga saat ini belum ada rujukan sebuah standar baku. Pada sisi lain eco-enzyme disebut sebagai cairan multiguna, mulai dari pembersih udara ruangan, biodisinfektan hingga pupuk organik. Sedangkan kematangan eco-enzyme hanya diukur dari waktu fermentasi selama 3 bulan. 

Maka perlu ada inovasi untuk mempercepat produksi eco-enzyme agar bisa mengimbangi produksi limbah dan memenuhi kebutuhan. Standar kualitas produksi eco-enzyme nantinya juga harus disesuaikan dengan peruntukkannya, dalam artian jika eco-enzyme digunakan sebagai disinfektan maka mesti memenuhi standar baku mutu disinfektan. 

Produksi eco-enzyme secara masal dapat menjadi salah satu pilihan dalam upaya pengurangan produksi sampah sisa sayur dan buah. Produksi masal pada sisi lain berkontribusi dalam pengurangan produksi emisi gas buang. Langkah ini dapat menjadi bentuk kontribusi anggota rumah tangga dalam upaya melakukan mitigasi perubahan iklim. Apalagi secara reaksi kimia produksi eco-enzyme menghasilkan ozon pada saat proses fermentasi, dimana ozon sangat bermanfaat dalam menjaga lapisan atmosfer bumi.

Secara ekonomi, pembuatan enzim dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan rumah tangga untuk membeli kebutuhan disinfektan, pembersih rantai, pembasmi serangga hingga pupuk. Tang, F.E. dan  Tong,C.W. dalam artikel berjudul “A Study of the Garbage Enzyme’s Effects in Domestic Wastewater” yang dipublikasikan dalam World Academy of Science, Engineering and Technology tahun 2011 menyatakan enzim sampah merupakan cairan multiguna yang dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga dan pertanian. 

Sayali dan kawan-kawan dalam publikasi tahun 2019 di International Journal of Innovative Science and Research Technology, dengan judulartikel “Use of Eco Enzymes in Domestic Waste Water Treatment” menyatakan bahwa enzim ramah lingkungan dari sampah juga dapat dimanfaatkan untuk mengolah air limbah dan membantu dalam mengurangi bahan yang membahayakan lingkungan.

Dalam sebuah artikel berjudul “Pengaruh Pasokan Siap Saji Produksi Tanaman Hortikultura Terhadap Tingkat Penurunan Sampah Organik di Wilayah Jakarta Timur” yang ditulis oleh Nikmah dan dipublikasikan tahun 2019 pada Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian disebutkan bahwa jumlah timbulan sampah dari sisa sayuran yang terbuang di DKI Jakarta tahun 2020 diperkirakan mencapai . 2.886,91 ton/hari.

 Data ini menunjukkan untuk wilayah Jakarta saja, sebanyak 2.886,91 ton/hari terbuat percuma. Ditinjau dari ketahanan pangan terdapat bahan pangan yang terbuang dalam jumlah besar, sedangkan ditinjau dari sisi pengolahan limbah, artinya terdapat bahan bahan baku kompos atau eco-enzyme dalam jumlah besar. 

Ketersediaan bahan berupa sampah sayur dan buah yang melimpah sangat memungkinkan memproduksi eco-enzyme secara masal. Apalagi di masa pandemic Covid-19, eco-enzyme dapat digunakan sebagai pengganti dari disinfektan berbahan kimia buatan. Mengingat penggunaan disinfektan berbahan Sodium hypochlorite sebelumnya dapat berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. 
Hasil penelitian terbaru mengungkapkan bahwa penggunaan disinfektan juga menjadi ancaman terhadap kelestarian serangga. 
Penyemprotan disinfektan berbahan eco-enzyme kini sudah lumrah digunakan dan juga ramah lingkungan. Eco-enzyme kini sudah menjadi biodisinfektan alternatif yang digunakan secara meluas, termasuk melakukan penyemprotan di ruas jalan dan area publik.  

Penyemprotan disinfektan berbahan eco-enzyme sudah dilakukan salah satunya di Kota Denpasar, Singaraja dan beberapa kota di Pulau Jawa. Selain digunakan sebagai disinfektan, saat pandemieco enzyme juga dimanfaatkan sebagai handsanitizer. Fenomena ini mengajarkan pada kita bahwa sampah merupakan berkah dan bernilai ekonomi jika memiliki kesaradaran serta kemauan untuk mengolahnya. 

Penulis :
I Nengah Muliarta
Akademisi Prodi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa. 
Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Bali
Dewan Redaksi Beritabali.com

Reporter: bbn/opn



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami