Jelang Pemilukada, Mari Cerdas Maknai Konten Politik
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Satu hal paling signifikan dari kampanye pemilu kemarin yang dapat dijadikan pelajaran ke depan adalah, hadirnya konten-konten di media sosial yang terselubung untuk mendukung satu pasangan tertentu.
Konten ini tersebar oleh beragam akun, baik oleh akun organik maupun akun “polesan” ini penuh dengan kemeriahan dan keriuhan. Penggunaan visual yang menarik, audio yang mudah diterima membuat para netizen dengan tidak sadar menerima dan terterpa imaji-imaji aktor politik yang menyebarkan pesan-pesan politik tersebut.
Isi konten ini membawa positif dalam arti dia memberikan warna baru dan penuh kemeriahan di media sosial, namun juga tak hanya kemeriahan yang disuguhkan namun kekhawatiran.
Menggunakan pendekatan kampanye soft selling, mereka dengan cerdasnya menggunakan cara-cara yang menarik simpati netizen. Netizen pun dengan tidak sadar mulai terbiasa dengan politik yang penuh hiburan ini. Terlebih pemilih yang didominasi oleh anak muda generasi millennial dan generasi z ini membuat tayangan-tayangan konten ini mudah diterima dan disukai oleh mereka.
Imaji anak muda akan politik adalah formal, serius, dan tidak menarik menjadi berubah seketika. Mereka kemudian terpapar bahwa konten di mana memberikan pandangan baru akan politik, yakni politik itu penuh hiburan, kreatif dan bisa informal. Aktor politik dikemas bukan lagi kaku dengan baju-baju formal, namun bisa menggunakan pakaian sehari-hari bahkan digambarkan layaknya kartun dalam komik-komik.
Baca juga:
Jaga Bali Tetap Metaksu, De Gadjah Ajak Sadar Memilih Pemimpin Bukan karena Tradisi Warna Politik
Tren konten kedua yang muncul adalah konten yang berputar dan berfokus bukan pada si aktor namun pada mereka yang dinilai dapat menggugah popularitas dan isu romantisme. Sebut saja isu romantisme anak dari salah satu pasangan calon dengan salah satu artis, atau komodifikasi sosok yang dinilai ganteng yang mengiringi selalu mengiringi pasangan calon presiden. Dua konten ini kerap kali menjadi viral dan banyak yang memberikan komentar serta menshare kembali konten tersebut.
Apa yang dilakukan netizen seperti memberi tanda like, memberi komen, lalu membagikan konten tersebut mereka akan dengan tidak sadar menjadi katalisator dan makin mengoptimalisasi isi konten tersebut.
Memang yang disampaikan bukan misinformasi tetapi memiliki indikasi misleading atau mengarahkan pada kesimpulan yang berbeda dari esensi dasar kampanye. Pada teorinya, kampanye adalah proses komunikasi dari actor politik kepada pemilih dengan pesan-pesan politik untuk meyakinkan pemilih agar memilih sosoknya.
Pesan-pesan politik sendiri adalah pesan yang berbasis pada isu politik, masyarakat, negara dan bangsa. Pesan politik selama kampanye ini adalah program apa yang hendak dilaksanakan selama nanti aktor-aktor politik ini menjabat nanti. Namun yang kemudian tersampaikan bukan pesan-pesan politik tapi dramatisasi, hiburan-hiburan politik atau dikenal dengan politainment yang jauh dari makna sesungguhnya dari proses komunikasi politik. Kekhawatiran yang muncul adalah kekhawatiran bergesernya makna dari pesan-pesan program pasangan calon tetapi menjadi hiburan semata layaknya konten yang mendominasi media sosial.
Perlu dipahami, walau telah ada penetapan pemenang pemilu, pesta demokrasi di Indonesia belum juga usai. Bali sendiri akan melakukan pesta demokrasi lokalnya di Bulan November. Bercermin dari pemilu 14 Februari 2024, maka bisa dipastikan pemilukada di berbagai daerah pada bulan November nanti (1) riuhnya pesta demokrasi akan dibanjiri beragam konten-konten kreatif (2) Medan kampanye akan terfokus di media-media digital dan media sosial (3) Pesan kampanye akan terkalahkan oleh gimmick-gimmmick yang lebih disukai oleh pemilih pemula.
Ya pemilukada akan lebih meriah, namun kemeriahan ini akan juga membawa bentuk-bentuk negatif dari kampanye di media sosial dan media digital seperti pada pemilu 14 Februari 2024. Terbitnya akun-akun yang disinyalir hadir hanya untuk mendukung satu pasangan calon yang dengan massif menyebarkan konten-konten akan tetap ada. Ironisnya, mereka disinyalir akan berhasil menghadirkan konten yang menggugah perasaan dan rasa iba dan simpati kepada para pasangan calon.
Maka apa yang perlu diperhatikan dan disadari para pemilih adalah kita sebagai netizen sepatutnya memiliki daya kritis untuk cerdas saat berhadapan dengan terpaan-terpaan konten di media sosial. Jangan sampai kita menjadi juru kampanye tanpa kita sadari dengan turut menyebarkan atau memberikan reaksi terhadap konten-konten tersebut.
Maka dengan menyadari hal tersebut dapat terbiasa menjadi netizen yang cerdas dan mampu berpikir kritis mengenai informasi yang diterima. Netizen berhadapan dengan semakin kreatifnya konten-konten politik maka netizen juga diharapkan semakin cerdas memaknai konten-konten politik agar demokrasi menjadi lebih baik dan nyaman untuk semua. Selamat memaknai dengan cerdas konten-konten politikmu.
Editor: Robby
Reporter: bbn/opn