Dilema Kelaparan di Antara Food Waste di Era Digital
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Pemborosan makanan adalah masalah yang kompleks yang terjadi di seluruh dunia. Namun, kesadaran yang lebih tinggi dan upaya bersama dapat membantu kita mengurangi pemborosan makanan dan memastikan bahwa semua orang memiliki akses terhadap makanan yang cukup dan bergizi.
Perkiraan sepertiga dari semua makanan yang dibuat untuk konsumsi manusia dibuang ke tempat pembuangan sampah setiap tahun. Ini mewakili sekitar 1,3 miliar ton makanan! Sulit untuk memahami angka-angka ini karena jumlahnya sangat besar.
Kondisi kontradiktif terlihat ketika ratusan juta orang di seluruh dunia masih mengalami kelaparan atau kekurangan gizi, yang berarti mereka tidak memiliki akses yang cukup terhadap makanan yang mengandung nutrisi yang diperlukan untuk menjalani kehidupan yang sehat dan produktif.
Sebuah paradoks yang menyakitkan muncul dari perbedaan antara jumlah limbah makanan yang sangat besar dan jumlah orang yang kelaparan. Kondisi ini menunjukkan masalah sistemik dalam produksi, distribusi, dan konsumsi makanan di seluruh dunia.
Jumlah limbah makanan yang tinggi dapat disebabkan oleh banyak hal. Seringkali, produksi makanan melebihi kebutuhan karena tekanan untuk memenuhi permintaan konsumen yang meningkat. Banyak makanan dibuang karena tidak memenuhi standar estetika pasar, meskipun kualitasnya masih baik untuk dikonsumsi. Adanya masalah dalam rantai pasokan, seperti kerusakan selama transportasi atau penyimpanan yang tidak tepat, berkontribusi pada peningkatan limbah makanan.
Konsumen di negara-negara maju seringkali membeli lebih banyak makanan daripada yang mereka butuhkan dan membuang sisa makanan, yang berkontribusi pada peningkatan limbah makanan.
Masalah kelaparan di tengah melimpahnya produksi pangan adalah sebuah paradoks yang menuntut perhatian serius dari semua pihak. Meski diakui selama ini produksi pangan global yang sangat melimpah. Petani di seluruh dunia bekerja keras untuk menanam berbagai jenis tanaman pangan, peternak menghasilkan daging dan produk susu, dan industri makanan olahan terus berinovasi. Namun, di sisi lain, jutaan orang, terutama di negara-negara berkembang, masih berjuang untuk mendapatkan makanan yang cukup setiap hari.
Pemborosan makanan, atau food waste, memiliki dampak yang sangat luas dan kompleks pada berbagai aspek kehidupan. Ketika makanan membusuk di tempat pembuangan sampah, ia melepaskan metana, sebuah gas rumah kaca yang jauh lebih kuat daripada karbondioksida dalam memerangkap panas di atmosfer. Ini berkontribusi pada perubahan iklim. Proses pembusukan makanan juga dapat mencemari tanah dan air di sekitar tempat pembuangan sampah.
Produksi makanan disisi lain membutuhkan banyak sumber daya seperti air, tanah, dan energi. Ketika makanan terbuang, semua sumber daya yang digunakan untuk memproduksinya juga terbuang percuma. Ditinjau dari sisi ekonomi, Pemborosan makanan merupakan kerugian ekonomi yang besar bagi petani, produsen makanan, pengecer, dan konsumen. Guna mengganti kerugian akibat pemborosan makanan, produsen seringkali menaikkan harga produk mereka, yang pada akhirnya membebani konsumen.
Ironisnya, di tengah melimpahnya produksi pangan, jutaan orang masih mengalami kelaparan dan malnutrisi. Pemborosan makanan memperparah masalah ini karena makanan yang seharusnya bisa dikonsumsi oleh orang yang membutuhkan justru terbuang sia-sia. Pemborosan makanan mencerminkan ketidakadilan dalam distribusi pangan.
Di satu sisi, ada orang yang membuang makanan dalam jumlah besar, sementara di sisi lain, ada orang yang kekurangan makanan. Pemborosan makanan mengurangi ketersediaan pangan di masa depan. Semakin banyak makanan yang terbuang, semakin sedikit makanan yang tersedia untuk generasi mendatang. Produksi pangan yang tidak berkelanjutan dapat menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati.
Pola konsumsi masyarakat memiliki peran yang sangat signifikan dalam upaya mencapai tujuan zero waste dan mengatasi masalah kelaparan di dunia. Pola konsumsi yang berkelanjutan, yang menekankan pada pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang, adalah kunci untuk mencapai zero waste.
Dengan mengurangi konsumsi barang sekali pakai, memilih produk yang ramah lingkungan, dan mengadopsi gaya hidup minimalis, masyarakat dapat menghasilkan limbah yang jauh lebih sedikit. Perubahan pola konsumsi masyarakat memaksa industri untuk beradaptasi dengan memproduksi produk yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Hal ini mendorong inovasi dan pengembangan solusi untuk mengurangi limbah.
Food waste menyebabkan berkurangnya jumlah makanan yang tersedia di pasaran. Makanan yang seharusnya bisa dikonsumsi oleh masyarakat miskin, justru terbuang sia-sia. Hal ini membuat pasokan makanan menjadi terbatas dan harganya pun cenderung naik, sehingga semakin sulit bagi masyarakat miskin untuk membelinya.
Ketika pasokan makanan berkurang akibat pemborosan, harga makanan cenderung meningkat. Kenaikan harga ini sangat memberatkan bagi masyarakat miskin yang memiliki daya beli terbatas. Akibatnya, mereka terpaksa mengurangi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi, sehingga asupan nutrisi mereka menjadi tidak mencukupi.
Makanan yang tersedia di pasaran seringkali merupakan makanan yang tidak laku dijual atau memiliki kualitas yang kurang baik. Hal ini disebabkan oleh standar estetika yang tinggi dan tanggal kedaluwarsa yang ketat. Akibatnya, masyarakat miskin terpaksa mengkonsumsi makanan yang kurang bergizi dan berisiko terhadap kesehatan. Kurangnya akses terhadap makanan bergizi dapat menyebabkan masalah kesehatan pada masyarakat miskin, seperti stunting, underweight, dan berbagai penyakit lainnya. Kondisi kesehatan yang buruk ini dapat menurunkan produktivitas dan kemampuan mereka untuk bekerja, sehingga memperperah kondisi kemiskinan.
Baca juga:
Dukung Zero Waste untuk Zero Warming
Era digital telah membawa banyak perubahan signifikan dalam gaya hidup kita, termasuk dalam hal konsumsi makanan. Ironisnya, di tengah kemajuan teknologi yang pesat, masalah food waste atau pemborosan makanan justru semakin meningkat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini, terutama terkait dengan pola promosi dan konsumsi generasi milenial.
Platform e-commerce dan aplikasi pesan antar makanan seringkali menawarkan diskon besar-besaran dan paket bundling. Hal ini mendorong konsumen, terutama generasi milenial, untuk membeli lebih banyak dari yang sebenarnya dibutuhkan. Promosi yang terbatas waktu dan eksklusif membuat konsumen merasa harus segera membeli produk, tanpa mempertimbangkan kebutuhan sebenarnya. Pengaruh selebgram dan influencer makanan yang mempromosikan produk tertentu dapat memicu tren konsumsi yang berlebihan.
Perkembangan digitalisasi menyebabkan konsumen dapat memesan makanan dari berbagai restoran dan supermarket. Kemudahan ini membuat orang cenderung lebih sering memesan makanan daripada memasak sendiri. Belum lagi aplikasi pesan antar makanan semakin populer, memungkinkan konsumen untuk memesan makanan kapan saja dan di mana saja.
Baca juga:
11 Minuman dan Makanan Pereda Flu
Penampilan makanan yang menarik dan instagramable seringkali menjadi prioritas, meskipun rasanya kurang enak atau tidak sesuai dengan selera. Generasi milenial juga cenderung lebih suka mencoba makanan baru dan unik, namun seringkali hanya mencoba sekali dan membuang sisa makanan. Seringkali juga banyak restoran dan kafe menawarkan porsi makanan yang sangat besar, seringkali melebihi kebutuhan individu.
Era digital telah mempermudah akses kita terhadap makanan, namun juga membawa tantangan baru dalam bentuk pemborosan makanan. Dengan memahami faktor-faktor yang mendorong food waste dan mengambil tindakan yang tepat, kita dapat mengurangi dampak negatifnya terhadap lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Berbereapa strategi dapat dilakukan untuk mengurangi produksi food waste di era digital, seperti meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama generasi milenial, tentang dampak pemborosan makanan. Pemerintah pada sisi lain, perlu membuat regulasi yang lebih ketat terkait praktik bisnis yang mendorong pemborosan makanan.
Strategi berikutnya dengan mengembangkan aplikasi dan platform yang membantu konsumen mengelola makanan mereka dengan lebih baik. Termasuk dengan Membangun kerja sama antara pemerintah, industri, dan masyarakat untuk mengatasi masalah ini secara komprehensif.
Penulis :
I Nengah Muliarta
Akademisi Prodi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa
Editor: Robby
Reporter: bbn/opn