search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Ritual Memanggil Hujan Kembali Marak di Zimbabwe
Jumat, 23 Desember 2016, 17:00 WITA Follow
image

Kekeringan di Zimbabwe. [ist]

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DUNIA.

Beritabali.com, Zimunta. Di bawah terik sinar matahari, sejumlah lelaki berkumpul untuk menyanyi, bersiul, dan melolong di bawah pepohonan kerontang tanpa daun di sebuah pinggiran desa Zimbabwe timur.
 
Mereka tengah melakukan aktivitas memanggil hujan.
 
BACA JUGA: 
"Kita harus kembali pada tradisi lama untuk mengatasi kekeringan," kata Nekias Mukwindiza, seorang kakek tua yang telah berusia 80 tahun.
 
Dulu keluarga Mukwindiza adalah pawang hujan pada 1940. Sekarang dia yakin tradisi lama itu bisa menjadi solusi bagi fenomena kekeringan di Zimbabwe yang semakin memburuk.
 
"Saya tahu karena saya sering ikut dalam ritual pemanggilan hujan. Dulu, ritual ini berhasil," katanya, seperti dilaporkan Reuters.
 
Menurut beberapa ilmuwan, kembali tradisi itu adalah bukti dari tidak adanya cara efektif untuk mengatasi kemarau panjang.
 
Para ilmuwan itu berpendapat bahwa Zimbabwe seharusnya tidak lagi bercocok tanam jagung dan mengubahnya dengan tanaman yang lebih tahan kering seperti jawawut dan gandum. Zimbabwe juga harus mulai menyimpan air saat hujan datang.
 
"Kita harus melatih para tetua desa mengenai pentingnya adaptasi terhadap perubahan iklim seperti pertanian yang berkanjutan dan teknik penyimpanan air," kata Lawrence Nyagwande, kepala organisasi sipil Environment Africa.
 
Ritual memanggil hujan sebagai cara untuk mengatasi kemarau yang berkepanjangan justru membuat para petani tidak responsif dalam beradaptasi dan mengubah cara tanam mereka, kata dia.
 
Para pendukung ritual memanggil hujan mengakui bahwa cuaca di Zimbabwe pada beberapa waktu terakhir adalah fenomena yang belum pernah mereka saksikan --temperatur yang sangat panas dan hujan yang tidak tentu.
 
Mukwindiza percaya bahwa cuaca panas itu adalah hukuman dari Tuhan karena telah meninggalkan kepercayaan lama.
 
"Selama lebih dari satu dekade kami tidak pernah melakukan acara ini. Tuhan marah kepada kami," katanya.
 
Desa-desa meninggalkan praktik tersebut akibat perselisihan soal siapa yang harus memimpin ritual. Namun di tengah kelangkaan air, mereka kini terpaksa meninggalkan perbedaan dan bersama-sama meminta hujan.
 
Menurut beberapa pakar, kekeringan, yang membuat warga Zimbabwe bergantung pada bantuan asing untuk makanan, berhubungan erat dengan perubahan iklim. Namun para tetua adat belum percaya.
 
BACA JUGA: 
"Jika kita kembali ke nilai-nilai dan kepercayaan tradisional, semua akan berubah menjadi lebih baik. HHujan akan datang dengan deras," ujar Mukwindiza dengan raut penuh keyakinan. [tar/ikh]

Reporter: -



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami