Ketika Kesunyian Menjadi Luka: Refleksi Psikiatri atas Kasus Bunuh Diri Anak di Bangli

bbn/ilustrasi/Ketika Kesunyian Menjadi Luka: Refleksi Psikiatri atas Kasus Bunuh Diri Anak di Bangli.
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, BANGLI.
Kabar duka kembali menyelimuti Bali, tepat di hari yang seharusnya penuh suka cita, Hari Raya Galungan.
Seorang bocah berusia 11 tahun, IS, ditemukan meninggal dunia secara tragis di belakang rumahnya di Kecamatan Kintamani, Bangli. Dugaan awal mengarah pada ketakutan karena ditinggal sendirian di rumah hingga larut malam.
Peristiwa ini mengguncang banyak pihak. Bagaimana mungkin seorang anak yang masih begitu muda bisa sampai pada tindakan ekstrem tersebut? Apakah kesepian, ketakutan, dan sunyi yang dirasakan seorang anak bisa begitu dalam hingga mendorongnya mengakhiri hidup? Banyak yang bertanya bagaimana mungkin seorang anak, yang baru mulai menjalani hidup, bisa membuat keputusan sebesar itu?
Dalam dunia psikiatri, kasus seperti ini menunjukkan bahwa gangguan emosional pada anak sering kali tak terlihat di permukaan, namun berdampak fatal jika tidak dikenali dan ditangani dengan tepat.
Ketidakmampuan Mengelola Emosi dan Impulsivitas Anak
Menurut pendekatan psikologi positif terhadap bunuh diri, anak-anak memiliki keterbatasan alami dalam mengelola emosi negatif seperti takut, panik, atau kesepian. Ketika tidak ada dukungan emosional yang kuat di sekelilingnya, rasa takut tersebut bisa berkembang menjadi perasaan terjebak yang luar biasa hingga pilihan impulsif yang tragis pun terjadi.
Dalam teori Emotion Dysregulation menegaskan bahwa jika sejak kecil seorang anak tidak dibekali kemampuan untuk mengatur emosinya misalnya, bagaimana mengatasi ketakutan saat sendirian maka ia lebih rentan mengambil keputusan impulsif saat mengalami tekanan.
Dari kacamata psikodinamika, ketidakmampuan anak dalam mengelola emosi dan impuls bukanlah kesalahan, melainkan cerminan dari perkembangan kepribadian yang masih rapuh. Dalam teori klasik Sigmund Freud, kepribadian manusia dibangun dari tiga unsur: Id (dorongan naluriah), Ego (pengatur realitas), dan Superego (nilai moral).
Pada masa kanak-kanak, Id sebagai dorongan spontan tanpa pertimbangan lebih dominan, sedangkan Ego baru berkembang perlahan. Artinya, ketika seorang anak merasa takut, marah, atau kesepian, ia belum memiliki kemampuan matang untuk mengelola perasaan itu. Emosi menguasai dirinya seperti ombak besar yang tak bisa ia kendalikan. Tindakan impulsif, bahkan tragis, bisa muncul dalam upaya putus asa untuk mengakhiri rasa sakit itu.
Jika dari awal hubungan anak dengan pengasuh tidak cukup stabil dan penuh kehangatan, anak akan kesulitan membangun rasa aman di dalam dirinya sendiri. Dan ketika krisis datang, ia merasa tidak punya "sosok internal" untuk berlindung. Ketakutan menjadi tak tertahankan dan impuls untuk kabur dari rasa sakit itu bisa mengambil bentuk yang paling ekstrem.
Anak-anak yang merasa tidak aman dalam hubungan mereka dengan orang tua lebih rentan mengalami kesulitan besar saat menghadapi stres atau perpisahan. Pada akhirnya, apa yang dibutuhkan anak bukan hanya keberadaan fisik, tapi juga kehadiran emosional dimana kehangatan yang membuat mereka tahu bahwa dalam ketakutan, mereka tidak sendirian.
Rasa Terasing di Tengah Keramaian
Bunuh diri bukanlah cerminan kelemahan, melainkan sering kali hasil dari perasaan kesendirian yang mendalam. Menurut Interpersonal Theory of Suicide, tindakan tragis ini tidak semata-mata lahir dari rasa sakit atau putus asa, tetapi terjadi ketika dua pengalaman emosional yang berat bertemu dalam jiwa seseorang.
Yang pertama adalah perasaan terasing, di mana individu merasa tidak memiliki tempat, tidak terhubung dengan siapa pun. Bagi seorang anak, misalnya, dibiarkan sendirian di rumah saat malam Hari Raya Galungan saat keluarga dan komunitas seharusnya bersatu bisa terasa seperti dunia menolaknya sepenuhnya.
Yang kedua adalah perasaan menjadi beban, yaitu keyakinan bahwa keberadaannya hanya membawa kerepotan bagi orang lain. Pada anak-anak, perasaan ini bisa tumbuh diam-diam dari ketidakhadiran perhatian atau kata-kata kecil yang dianggap remeh oleh orang dewasa.
Namun, kedua perasaan ini saja belum cukup untuk mendorong tindakan fatal. Ada satu unsur terakhir yang sering membuat tragedi menjadi nyata, yaitu keberanian instan untuk melukai diri sendiri. Karena impulsivitas yang tinggi dan ketidakmatangan dalam memahami konsekuensi akhir, anak-anak bisa bertindak secara tiba-tiba tanpa sepenuhnya memahami arti kematian. Dalam sekejap, rasa takut yang terlalu besar bisa menumpulkan naluri bertahan hidup, dan tindakan tragis pun terjadi.
Faktor-faktor protektif seperti rasa harapan, dukungan sosial, tujuan hidup, dan emosi positif untuk mencegah bunuh diri sangatlah penting dimiliki oleh seoarng anak. Sayangnya, pada usia anak-anak, faktor-faktor ini belum berkembang sempurna dan membutuhkan penguatan dari keluarga dan komunitas.
Kita sebagai komunitas perlu menyadari bahwa kasus seperti ini bukan sekadar tragedi individu, melainkan cermin kebutuhan lebih luas akan pendidikan emosional sejak dini. Anak-anak perlu diajarkan sejak kecil untuk mengenali dan mengungkapkan rasa takut, cemas, marah, atau kesedihan tanpa takut dihukum atau diremehkan.
Selain itu, perhatian terhadap keamanan emosional anak harus menjadi prioritas utama, terutama di momen-momen di mana keluarga sibuk dengan kegiatan ritual atau sosial. Menyediakan pendampingan, memastikan anak merasa aman, atau melibatkan anak dalam kegiatan keluarga bisa menjadi langkah kecil namun berarti untuk mencegah tragedi serupa.
Tanda Bahaya dan Cara Mencegah Bunuh Diri pada Anak
Tanda-tanda Bahaya yang Perlu Diwaspadai:
• Perubahan perilaku drastis, seperti menjadi pendiam, mudah marah, atau menarik diri dari keluarga dan teman.
• Ungkapan verbal tentang rasa putus asa, ingin menghilang, atau tidak ingin hidup.
• Perilaku impulsif berbahaya tanpa alasan jelas.
• Kesulitan tidur, mimpi buruk berulang, atau ketakutan ditinggalkan.
• Penurunan minat terhadap aktivitas yang sebelumnya disukai.
• Peningkatan ketergantungan atau kelekatan berlebihan terhadap orang tua atau pengasuh.
Langkah Pencegahan yang Dapat Dilakukan:
• Bangun komunikasi terbuka. Dengarkan perasaan anak tanpa menghakimi atau langsung memberi solusi.
• Berikan rasa aman. Pastikan anak tahu bahwa ia tidak akan ditinggalkan sendirian dalam situasi yang menakutkan baginya.
• Ajarkan keterampilan emosi. Ajari anak mengenali, menamai, dan mengelola emosinya, seperti takut, marah, atau sedih.
• Libatkan anak dalam kegiatan keluarga. Keterlibatan membuat anak merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dan mengurangi rasa kesepian.
• Cari bantuan profesional. Jika anak menunjukkan tanda-tanda kecemasan berat atau perilaku berbahaya, segera konsultasikan ke psikolog atau psikiater anak.
Ajakan untuk Kita Semua
Kesehatan mental anak bukan hanya tanggung jawab keluarga, tetapi juga tanggung jawab komunitas. Mari kita ciptakan lingkungan yang lebih peduli, lebih ramah emosi, dan lebih terbuka terhadap suara-suara kecil yang mungkin selama ini terabaikan.
Karena di balik tawa dan keaktifan seorang anak, bisa tersembunyi ketakutan yang tak terucapkan. Satu perhatian kecil, satu pelukan hangat, satu percakapan penuh kasih bisa menjadi jembatan yang menyelamatkan satu jiwa kecil dari kesunyian yang mematikan. Suara mereka perlu kita dengar, sebelum terlambat.
Kepergian IS meninggalkan duka mendalam, namun juga menjadi panggilan bagi kita semua bahwa bunuh diri bukan hanya soal depresi atau penyakit jiwa, tetapi tentang rasa keterasingan, merasa tidak berarti, dan hilangnya rasa takut terhadap kematian.
Anak-anak, dengan kehalusan emosi dan ketidakmatangan kognitifnya, jauh lebih rentan. Mereka tidak membutuhkan solusi besar namun mereka membutuhkan hadirnya kasih sayang, keterhubungan, dan rasa bahwa mereka berharga setiap saat. Mari kita pastikan tidak ada lagi anak yang merasa sendirian di tengah hiruk-pikuk kehidupan kita.
Mari dengarkan suara-suara kecil itu. Karena dalam sunyi mereka, mungkin tersembunyi jeritan minta tolong yang nyaris tak terdengar. (Prof Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K), MARS)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/tim