Asal Usul Masyarakat Bali Part IV - Selesai
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Dualisme yang terjadi pada masyarakat Bali kala itu, memperlihatkan interaksi yang begitu kompleks. Namun, Thomas A. Reuter (2005) dalam bukunya berjudul Custodians of The Sacred Mountains juga memperlihatkan bahwa pertemuan keduanya menjadi hal penting bagi perkembangan Bali.
Pola dari pertemuan itu memperlihatkan pengakuan bersama sebagai mitra yang penting dalam suatu masyarakat yang kembar serta pertemuan kesejarahan antar pesaing.
Walau bersaing, namun sejumlah faktor politik telah menjadikan kedua kelompok ini bekerja sama. Ada beberapa faktor yang diperlihatkan.
Pertama, persaingan antar raja-raja wong Majapahit di dataran rendah, telah menjadikan Bali Aga memilih untuk menjadi kelompok netral di daerah pegunungan.
Kedua, faktor akan adanya hubungan ritual yang ekslusif (Pura Batur dan Pucak Penulisan), bagian ini telah ada pada part III.
Selain itu, faktor yang tidak bisa dikecualikan pula yakni mengenai datangnya musuh baru yaitu Kesultanan Islam di pulau-pulau berdekatan.
Terlebih ketika munculnya peran dari musuh baru yakni penjajah Belanda yang datang ke Bali. Sebab, tidak dapat dipungkiri penjajahan Belanda telah mencetuskan perubahan besar dalam budaya dan politik Bali, dan proses itu terus berlanjut hingga kemerdekaan Indonesia.
Lambat laun, Bali telah menjadi kekuasaan politik negara-bangsa dengan mensejajarkan pula asas demokrasi di sampingnya.
Pada masa ini pula, Bali Aga memiliki kesempatan untuk diakui keberadaanya. Lewat adanya kekuasaan negara, Bali Aga menyambut lahirnya Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) untuk menyederhanakan ritual keagamaan.
PHDI telah menjadi alat penting bagi Bali Aga yang menolak keras adanya kemegahan yang tidak penting dalam kehidupan serimonial Bali bagian selatan yang dikuasai Wong majapahit.
Orang Bali Aga yang tidak berkasta itu juga meminta untuk didirikan lebih banyak lagi lembaga tradisional yang lebih demokratis dengan semangat konstitusi pancasila.
Ketimbang menjalankan lembaga ala Bali Selatan (Wong Majapahit) yang dinilai lebih feodal. Maka, hingga kini, kepepimpinan dan organisasi Bali Aga dibanding dengan Bali Selatan begitu berbeda.
Bali Aga mengenal adanya kepimpinan pasangan tetua (ulu apad). Kepemimpinan tradisional mereka tidak didasarkan pada kecakapan dan persyaratan seperti baca-tulis.
Justru, pengalaman dan belajar secara praktislah yang menjadi bekal menjadi ulu apad ini. Dibandingkan dengan Bali Selatan, dipimpin oleh Kelihan adat yang tunggal dan seorang pembantunya.
Bukan dewan besar yang diisi tetua seperti Bali Aga. Kelihan Adat ini harus bisa baca-tulis. Walau, selama Soeharto memimpin, pemimpin Bali Selatan itu harus mendukung Partai Golkar yang berkuasa.
Kemudian, muncul Badan Pelaksana Pembina Lembaga Adat yang memaksa pula Bali Aga untuk mengikuti sistem Bali Selatan ini.
Hingga, lambat laun banyak desa-desa Bali Aga yang kemudian melahirkan kelihan adat.Selanjutnya, beberapa lembaga bahkan termasuk PHDI sendiri ikut mengkritik Bali Aga.
Terutama, tidak adanya Tri Kahyangan Tiga seperti desa-desa wong majapahit. Berikut pula dengan perdebatan mengenai pendeta-pendeta wong majapahit yang mulai memimpin pura-pura mereka.
Pada akhirnya, gagasan tentang yang asli dan yang asing mendapatkan suatu pengertian yang baru ketika Bali dilanda gelombang-gelombang lain dari pendatang baru yakni para imigran ekonomi dan investir kaya Pulau Jawa.
Akhirnya, kisah arus Majapahit ke Bali lebih dikenal hanya sebagai kiasan. Model asli dan asing ini pada intinya tidak hanya dialami Bali, melainkan pula masyarakat lainnya seperti asal usul Fiji, Timor, Roti, Palembang, maupun Basemah.
Reporter: bbn/dmp