Pemakaian Saput Poleng Pada Pohon Besar Sebagai Bentuk Pelestarian Lingkungan Hidup
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Beritabali.com, Denpasar. Pemakaian saput poleng pada pohon-pohon besar di Bali merupakan bentuk upaya pelestarian lingkungan hidup yang dilakukan masyarakat Bali.
[pilihan-redaksi]
Demikian terungkap dalam sebuah artikel ilmiah berjudul “Ideologi Pelestarian Lingkungan Hidup Dibalik Pemakaian Saput Poleng Pada Pohon Besar di Bali” yang ditulis oleh I Ketut Suda dari Fakultas Ilmu Agama, Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar yang dipublikasikan dalam Jurnal Bumi Lestari, Volume 10, Nomor 2 Tahun 2010.
Ketut Suda menuliskan upaya masyarakat Bali melilitkan saput poleng pada pohon besar bukan sekedar perbuatan iseng yang terjebak pada utopia, melainkan memiliki latar belakang ideologis.
Artinya dibalik budaya melilitkan saput poleng pada pohon besar yang merupakan bagian dari sistem nilai masyarakat Bali mengandung pula nilai-nilai kearifan ekologis.
Ideologi yang terkandung disini yaitu konsep Tri Hita Karana. Harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diaktualisasikan dalam bentuk pemujaan yang disebut parahyangan.
Demikian pula dalam kehidupan sosial masyarakat Hindu Bali tidak dapat dilepaskan dari hubungan dengan manusia lainnya yang disebut dengan pawongan. Terakhir adalah harmonisasi hubungan antara manusia dengan lingkunganya yang disebut palemahan.
[pilihan-redaksi2]
Berdasarkan konsepsi Tri Hita Karana maka upaya melilitkan saput poleng pada pohon besar yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali secara filosofi mengandung cara pandang pengelolaan lingkungan dengan konsep antroposentris, biosentris dan ekosentris.
Konsep antroposentrisme berarti bahwa manusia dilihat sebagai pusat alam semesta. Manusia sebagai mahluk tertinggi di muka bumi ini, sedangkan alam semesta dianggap sebagai sarana pelengkap dan alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut Suda, sebenarnya masyarakat Hindu di Bali memiliki banyak nilai kearifan ekologis untuk pelestarian lingkungan. Hanya saja dalam proses sosialisasinya belum banyak yang dilakukan melalui berbagai diskursus yang dapat dipahami masyarakat secara ilmiah.
Pada kenyataanya banyak nilai kearifan lokal dan kearifan ekologis di Bali hanya dipahami masyarakat sebatas tradisi mule keto (memang begitu). [bbn/ Jurnal Bumi Lestari/mul]
Reporter: bbn/mul