Viral Ritual Wewatengan di Kesiman Dibubarkan, Ini Kata PHDI
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Viral di media sosial, paguyuban Taksu Rudra Bhairawa mengadakan ritual sakral Wewatengan di Pura Melanting, Padanggalak, Desa Adat Kesiman, pada Minggu (19/12) petang dibubarkan prajuru adat setempat.
Dari hasil penelusuran, ritual itu digelar untuk konsumsi publik melalui sosial media. Pembubaran dilakukan karena kegiatan ini tak sepengetahuan Desa Adat Kesiman.
Fenomena yang terjadi di Kota Denpasar ini disayangkan oleh Ketua PHDI Kota Denpasar Nyoman Kenak.
Diwawancarai Senin (20/12) di kantornya, dia menyebut tidak semua upacara Hindu bisa dipublikasikan kepada kalangan umum, karena berpotensi menjadi pergunjingan publik.
Apalagi, kata dia, kegiatan itu dilakukan demi mencari popularitas di dunia maya. "Kita harus bisa bedakan, mana sakral, mana profan. Kalau tujuannya nunas taksu, kita sembahyang saja dengan tulus, bisa," ujarnya.
Hingga kegiatan itu dibubarkan, dia menilai kurangnya komunikasi antara paguyuban spiritual yang menggelar kegiatan dengan lingkungan sekitar, baik adat maupun dinas.
Sebab, bila terjadi sesuatu yang membuat pura itu tercemar secara spiritual, tentu akan menjadi tanggung jawab bersama, utamanya pengempon pura. Terlebih yang digelar itu merupakan aksi sakral.
"Seandainya ada tumpahan darah, lalu pura itu cemer, kan repot. Kalau ada apa-apa, misalnya ada yang terluka, siapa yang tanggungjawab?," tegasnya.
Pandangan serupa juga disampaikan Wakil Ketua PHDI Kota Denpasar Made Arka. Upacara sakral yang terlalu vulgar dipertontonkan justru bisa melunturkan nilai-nilai magis yang terkandung.
Menurutnya tidak boleh sembarangan orang menggelar upacara sakral tanpa alasan jelas. "Kita berharap budaya, seni dan agama di Bali ini perlu dipertahankan, jangan sampai kesakralannya ritual luntur," ujarnya.
Upaya antisipasi degradasi tradisi ini telah dilakukan sebelumnya dengan menggelar edukasi melalui pelatihan pemangku, yang akan digelar berkelanjutan.
Reporter: bbn/dps