search
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
radio_button_unchecked
light_mode dark_mode
Asal Usul Perayaan Imlek di Bali Disebut "Galungan Cina"
Selasa, 28 Januari 2025, 00:46 WITA Follow
image

bbn/dok FB Wihara Kongco Dwipayana/Asal Usul Perayaan Imlek di Bali Disebut "Galungan Cina".

IKUTI BERITABALI.COM DI

GOOGLE NEWS

BERITABALI.COM, DENPASAR.

Di Bali, perayaan Tahun Baru Imlek sering disebut sebagai "Galungan Cina" oleh masyarakat setempat. 

Ungkapan seperti "Rahajeng Galungan Cina, semoga berkelimpahan rejeki dan selalu dalam lindungan Tuhan" menjadi ucapan yang familiar selama perayaan ini. 

Lantas, mengapa perayaan Imlek bisa disebut demikian di Bali, sebuah daerah yang mayoritas penduduknya beragama Hindu?

Mangku IB Adnyana, Pendeta Kongco Dwipayana, menjelaskan bahwa kedekatan budaya Bali dengan budaya Tionghoa memicu akulturasi yang erat. Di Bali, masyarakat Hindu turut serta dalam perayaan Imlek dengan cara mereka sendiri, salah satunya melalui persembahyangan bersama. 

Di Kongco Dwipayana, Denpasar, sebuah tempat ibadah yang melayani umat berbagai agama, terlihat perpaduan yang unik. Selain patung-patung dewa Tionghoa, terdapat pula pelinggih (tempat persembahyangan) untuk dewa-dewa Hindu, serta Gedong Sang Budha dan Dewi Kuan In.

Pada perayaan Imlek, umat dari berbagai agama, termasuk Hindu, Budha, dan Konghucu, datang untuk bersembahyang. Mereka tidak hanya memuja dewa-dewa yang biasa mereka sembah dalam tradisi agama mereka masing-masing, tetapi juga melakukan upacara persembahyangan secara bersamaan. 

"Kami melakukan persembahyangan baik dalam tradisi Hindu, Budha, dan Konghucu," kata Mangku Adnyana.

Selain itu, upacara persembahyangan juga diikuti dengan penghantaran sesajen. Umat Hindu membawa pejati dan buah-buahan, sementara masyarakat keturunan Tionghoa juga membawa buah untuk dipersembahkan. Setelah persembahyangan, umat diberikan air suci dan bija (mantra) yang ditempelkan di kening, sebuah ritual yang juga sering dilakukan oleh umat Hindu.

Fenomena ini tidak hanya terkait dengan spiritualitas, tetapi juga cuaca yang biasanya melibatkan angin ribut dan hujan deras saat perayaan Imlek. Beberapa warga Hindu Bali bahkan mengaitkan cuaca ekstrem tersebut dengan perayaan "Galungan Cina," yang mereka anggap mirip dengan perayaan Galungan, hari raya besar umat Hindu di Bali.

Penyebutan "Galungan Cina" bagi Imlek ini juga berakar pada sejarah. Pada masa Orde Baru, perayaan Tahun Baru Imlek dilarang oleh pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, yang membatasi segala hal yang berhubungan dengan kebudayaan Tionghoa. 

Akibatnya, masyarakat Bali sering menggunakan istilah "Galungan Cina" sebagai cara untuk merayakan Imlek secara tidak terbuka. Namun, setelah kebijakan tersebut dicabut pada tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Imlek kembali dirayakan dengan bebas oleh masyarakat Tionghoa.

Mengapa sebutan "Galungan Cina" lebih populer di Bali daripada "Imlek"? Bagi banyak orang Bali, istilah "Galungan Cina" terasa lebih akrab dan lebih mudah diterima oleh budaya setempat. Penjor, tamiang, endongan, dan sampian gantung—unsur-unsur yang juga digunakan dalam perayaan Galungan—sering ditemukan dalam perayaan Imlek, sehingga keduanya menjadi lebih serupa di mata masyarakat Bali.

Dengan segala akulturasi budaya yang ada, perayaan Imlek atau "Galungan Cina" di Bali kini menjadi momen yang memperkuat ikatan antarumat beragama dan antarbudaya di Pulau Dewata.

Editor: Redaksi

Reporter: bbn/tim



Simak berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Ikuti saluran Beritabali.com di WhatsApp Channel untuk informasi terbaru seputar Bali.
Ikuti kami