Ratusan WNA Manfaatkan Visa Investor di Bali, Puluhan Dideportasi
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, DENPASAR.
Sebanyak 520 Warga Negara Asing (WNA) ditemukan memanfaatkan visa investor untuk masuk ke Bali, dengan mayoritas berasal dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Rusia, Pakistan, India, dan Australia.
"Mayoritas WNA ini berasal dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Rusia, Pakistan, India dan Australia dengan bidang usaha perdagangan dan konsultan," kata Plt Direktur Jenderal Imigrasi, Saffar Muhammad Godam, saat jumpa pers di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Kamis (21/2).
Temuan ini merupakan hasil dari operasi Wira Waspada yang berlangsung sejak 14 Januari hingga 21 Februari 2025. Data dari Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) BKPM mengungkap bahwa 160 PMA yang Nomor Induk Berusaha (NIB)-nya telah dicabut sejak 1 November 2024, ternyata masih beroperasi.
BKPM mencabut NIB perusahaan tersebut karena nilai investasi mereka di bawah Rp 10 miliar, padahal perusahaan tersebut tercatat sebagai penjamin bagi 312 WNA. Sesuai UU Nomor 20 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), PMA dikategorikan sebagai perusahaan besar dengan investasi minimal Rp 10 miliar.
"Alasan pencabutan NIB perusahaan adalah karena mereka tidak dapat memenuhi komitmen nilai investasi sebesar Rp 10 miliar ke atas, sehingga potensi uang yang masuk di Indonesia melalui investasi tersebut tidak sesuai dengan faktanya," jelasnya.
Selain itu, Imigrasi juga menemukan 208 WNA yang disponsori oleh 43 perusahaan yang diduga fiktif. Saat ini, BKPM masih memeriksa dokumen perusahaan-perusahaan tersebut.
"Terhadap perusahaan itu sendiri sedang kita dalami. Apabila ada dokumen yang dipalsukan, kita akan menggunakan KUHP, yaitu adanya pemalsuan dokumen," kata Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Brigjen Yuldi Yusman.
Dari total 520 WNA, sebanyak 63 telah dideportasi, 111 orang dalam proses deportasi, dan 346 lainnya masih menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Direktur Wilayah V Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Ady Sugiharto, mengungkap bahwa beberapa pemegang visa investor ini justru bekerja sebagai koki atau membuka restoran dengan nilai investasi di bawah Rp 10 miliar. Seluruh usaha mereka telah ditutup dan hanya dapat beroperasi kembali jika memenuhi ketentuan investasi yang berlaku.
"Pada saat kita survei ke lapangan, ternyata lokasinya tidak ada, hanya kantor sementara, tapi kantor sementaranya juga tidak tahu pemiliknya sekarang di mana, dan itu menjadi tugasnya Imigrasi untuk mencari orang," katanya.
Menurutnya, meskipun secara administrasi WNA ini memenuhi persyaratan mendirikan badan usaha, namun realisasi di lapangan tidak sesuai. Akibatnya, Indonesia berpotensi kehilangan investasi sekitar Rp 1,6 triliun.
"Pengajuan perizinan melalui online single submission, siapa pun boleh. Akan tetapi kami tak bisa sendiri, karena untuk mendirikan badan hukum harus ada akta pendirian, itu ada di notaris," ujarnya.
"Saat di notaris, terhadap izin legalitas pendirian badan hukum, baru ke sistem OSS. Dalam single submission mereka sudah mengikuti prosedur tapi dalam pelaksanaannya banyak yang disalahgunakan," katanya. (sumber: kumparan)
Editor: Redaksi
Reporter: bbn/net