Sejarah Ubud: Dikenal Mulai Abad ke-7, Berasal dari Kata Ubad
GOOGLE NEWS
BERITABALI.COM, GIANYAR.
Ubud adalah sebuah desa yang tidak jauh berbeda dengan desa-desa yang lain di Bali tetapi kalau masyarakat di Bali nasional maupun internasional tentunya banyak sepertinya yang sudah mengetahui, dapat dikatakan Ubud adalah "branding" dan banyak yang ingin tahu ada apa di balik kata "Ubud".
"Saya pribadi akan sedikit membagi cerita dari apa yang saya ketahui dari cerita nenek saya, dari buku-buku sejarah, buku-buku penelitian, maupun dari pengalaman pribadi saya, saya akan menyampaikan ringkas cerita seperti ini," ujar warga asli Ubud Anak Agung Bagus Ari Brahmanta. Cerita tentang Ubud ini disampaikan Agung pada acara Art, Culture, Culinary, Community Gathering Shrida Taste of Ubud, (22/6/2019) lalu.
Awal kata "Ubud"
Pada abad ke 7 telah datang seorang pendeta yang bernama Markendya beserta pengikutnya yang sebenarnya beliau sebelumnya pernah tinggal di Dataran Dieng, Jawa Tengah. Beliau datang ke Bali melalui Sungai Wos. Perjalanan beliau terjadi 2 kali. Perjalanan pertama mengalami kegagalan karena banyak pengikut beliau yang meninggal. Setelah itu, beliau kembali ke Jawa dan melakukan meditasi di Gunung Raung, Jawa Timur.
Selanjutnya beliau berusaha kembali ke Bali dengan pengikutnya dengan melakukan upacara ritual secara berantai di beberapa pura seperti Pura Gunung Lebah Ubud, Pura Pucak Payogan Ubud, Pura Gunung Raung di Taro sampai akhirnya beliau bisa melaksanakan ritual di kaki Gunung Agung yang dikenal dengan nama Besakih saat ini. Dari perjalanan beliau inilah, kata "Ubud" ini disebutkan yang berasal dari kata "Ubad".
Pada saat itu konon ceritanya dalam perjalanan beliau, pengikutnya banyak yang sakit. Namun sesampainya di desa ini banyak yang sembuh setelah melakukan ritual penyucian diri di Sungai Wos Campuhan Ubud, di tempat berpadunya dua aliran sungai yang dinamakan secara spiritual Silukat dan Sudamala. Untuk diketahui dalam prasasti di Bali sebelumnya, baik pra sejarah atau purbakala maupun dalam dinasti Kudungga yang sudah di Bali pada abad ke 4 dan dinasti Warmadewa, tidak disebutkan kata "Ubud".
Ubud Pada Abad ke-14
Pada abad ke 14 Ubud disebutkan pada saat tampuk pemerintahan kerajaan Dalem Waturenggong, Adipati pada saat zaman pemerintahan Majapahit, pejabat yang ditempatkan oleh Raja yang beristana di Gegel untuk menguasai wilayah Ubud, dinamakan Gusti Ubud.
Masa Kerajaan Mengwi
Pada abad ke-16 setelah perubahan pusat pemerintahan dari Gegel dan pusat pemerintahan baru di Semarapura Klungkung, yang tetap dinasti Sri Aji Kepakisan di bawah kekuasaan di Bali, Raja I Dewa Agung Jambe dan di Bali tumbuh kerajaan kecil setelah runtuhnya kerajaan Gegel. Salah satunya adalah kerajaan Mengwi, Ubud, yang menjadi wilayah kerajaan Mengwi dimana wilayahnya sampai ke Pekerisan.
Pengaruh Dinasti Sukawati
Dinasti Sukawati tumbuh pada abad 17 setelah salah satu putra beliau dari dinasti Sri Aji Kepakisan di Semarapura Klungkung dalam cerita dapat mengalahkan Ki Balian Batur yang meruntuhkan Kerajaan Mengwi sehingga beberapa wilayah Kerajaan Mengwi berada di bawah kekuasaan Dinasti Sukawati dengan Raja I Dewa Agung Anom Sukawati membawahi wilayah utara Taro, barat Sungai Wos, timur Pekerisan dan selatan Pantai Ketewel. Salah satu putra dari Raja Sukawati ini membangun kerajaan kecil di Desa Peliatan yang membawahi Ubud. Putra-putra dari kerajaan kecil Peliatan ini membangun puri-puri sebagai penguasa wilayah beberapa desa seperi jabatan manca dan
punggawa.
Pada abad ke-18 Ubud menjadi kerajaan kecil di bawah pengausa yang bernama Tjokorde Gede Sukawati. Di sinilah nama Ubud mulai popular karena kiprah beliau menundukkan kerajaan kecil di sekitarnya sehingga Ubud bisa ikut serta menundukkan Mengwi bersama kerajaan Badung atas perintah Kerajaan Klungkung sehingga wilayah Ubud menjadi lebih luas pada akhir abad 18 (buku The Spell of Power, 1650-1940, Henk Schulte Nordholt, KITLV Press, 1996).
Pemerintahan Hindia Belanda
Terpecahnya Bali menjadi kerajaan kecil dan saling perang antarkerajaan memudahkan pemerintah kolonial Belanda memasuki Bali. Pertama melalui pelabuhan di Buleleng dikenal dengan Perang Puputan Jagaraga. Kerajaan Buleleng bisa dikuasai. Kedua Perang Kesumba untuk menguasai Klungkung tidak berhasil. Melalui Perang Puputan Badung tahun 1906 Belanda menguasai kerajaan Badung, salah satu kerajaan tangan kanan dari kerajaan Bali berpusat di Klungkung dan pada tahun 1908 kerajaan terbesar di Bali bisa dikuasai oleh Perang Puputan Klungkung. Memasuki era pemerintahan Belanda ini kerajaan di Bali diatur oleh Belanda. Tentunya raja-raja diatur oleh Belanda sehingga pada saat itu Ubud menjadi keponggawaan di bawah kekuasaan Raja Gianyar.
Pendidikan Era Belanda
Menurut tulisan dalam lontar dari kakek kami, Ubud tidak mau ikut terlibat dalam peperangan karena tentara Belanda memiliki senjata yang sangat lengkap walaupun penguasa di Ubud sudah menghunus keris maju perang membantu kerajaan-kerajaan lain yang berperang. Tetapi kakek saya yang merupakan tangan kanan penguasa Ida Tjokorda Raka Sukawati memilih berjuang melawan Belanda.
Melalui diplomasi dikirimlah putra raja Ubud yang paling sulung yang bernama Tjokorde Gede Raka Sukawati disertai paman kami bernama Anak Agung Ngurah Asti pada tahun 1912 untuk mengikuti pendidikan di tanah Jawa. Selepas dari pendidikan beliau pernah menjadi punggawa (seperti camat zaman sekarang ini) pada zaman pemerintahan Belanda dan akhirnya beliau dipilih menjadi anggota Volkrad.
Paman kami, Anak Agung Nurah Asti, beliau menjadi pekerja di pemerintahan Sunda Kecil di Buleleng. Pada saat Tjokorde Gede Raka Sukawati menjadi anggota Volkrad di Batavia, beliau bertemu dengan seorang seniman bernama Walter Spies. Beliau membujuk senian ini agar ia tinggal di Ubud dan beliau menempatkan seniman tersebut di Campuhan yang sekarang ada kawasan Hotel Campuhan.
Tinggalnya Walter Spies
Karena kesibukan Tjokorde Raka Sukawati sebagai anggota Volkrad, beliau tidak bisa mendampingi Walter Spies dan meminta adik-adik beliau untuk mendampingi. Salah satu adik beliau yang paling bungsu bernama Tjokorde Gede Agung Sukawati yang sangat perhatian dengan seniman dan perpaduan budaya. Kedua orang ini telah membangkitkan para seniman di Ubud sehingga kita banyak mengenal karya I Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Made, pematung Ida Bagus Nyana, pematung Tjokot dan banyak lainnya. Beliau lalu mengornganisir para seniman dalam sebuah organisasi yang bernama "Pita Maha". Kiprah Walter Spies tidak hanya ke para seniman lukisan dan pematung saja tetapi ia juga memberi perhatian pada seniman tari, mengkreasi bebebrapa tarian seperti Tari Kecak, Calon Arang. Gambuh di Batuan dan banyak tarian yang merupakan budaya lokal mendapatkan sentuhan dari Walter Spies.
Royale Paris Colonial Festival 1931
Peranan kakak beliau sebagai anggota Volkrad di Batavia dan adik beliau bungsu penggerak seniman dan budaya lokal telah membawa Ubud pada festival bergengsi pada tahun 1931 di Eropa. Misi kesenian budaya sampai kuliner telah mengemparkan jagat Eropa pada saat itu. Di sinilah nama Bali, Ubud dikenal secara internasional.
Ubud dengan Dunia Luar
Ketertarikan orang Eropa, Amerika, untuk datang ke Bali dan Ubud telah memberikan peluang bagi pemerintah Belanda untuk membuat travel dan penginapan. Salah satunya adalah Bali Hotel. Banyak wisatawan yang datang ke Ubud begitu juga dengan pejabat Hindia Belanda, seperti Ratu Belanda Yuliana. Tamu pemerintahan Belanda ini dijamu di Puri Ubud oleh Tjokorde Gede Agung Sukawati, baik jamuan dengan makanan Bali, tari-tarian maupun pajangan hasil karya seniman setempat.
Tinggalnya Para Seniman
Ubud menjadi daya tarik tersendiri bagi para seniman manca negara terutama setelah Kemedekaan di samping alamnya yang menawan dan adat-istiadatnya yang menarik. Seniman yang tingal di Ubud seperti kita kenal yaitu Rudolf Bonnet, Han Snel Antonia Blanco. Hal ini juga merupakan peranan dari bangsawan Puri Agung Ubud, Tjokorde Gede Agung Sukawati yang menghibahkan lahan miliknya kepada para seniman. Tidak kalah penting juga para seniman nasional yang memilih tinggal di Ubud, baik sementara waktu atau jangka lama, seperti Affandi, Wa Fong, Abdullah dan banyak lagi. Hal ini juga membangkitkan para seniman lokal untuk berkarya.
Museum Ratna Wartha
Begitu banyaknya seniman yang datang ke Ubud, terutama seniman lukisan sehingga Ubud dikenal sebagai kampung seniman. Banyak wisawatan berkunjung ke Ubud melihat hasil karya para seniman seperti Charlie Caplin, aktor Amerika dll. Sehingga pemerintah pada saat itu, yaitu Menteri Pendidikan, Prof. Mohamad Yamin tahun 1960 mendukung didirikannya Museum Seni Lukisan yang dinamakan Ratna Wartha yang menampung hasil karya putra daerah. Pada saat itu juga telah terbangun Istana Tampak Siring sehingga Ubud menjadi tujuan kunjungan tamu negara seperti: Nehru, Chekov (Rusia), Kennedy (Amerika), Ratu Elizabeth dan banyak lagi tamu negara lainnya. Tidak saja tamu
negara, kunjungan para wisatawan pun meningkat sehingga tumbuhlah di sekitar Puri Agung Ubud hotel-hotel seperti Hotel Campuhan, Hotel Ubud, Hotel Mutiara, Hotel Mustika bagi wisatawan yanga akan tinggal di Ubud. Tidak itu saja, sekitar Ubud antara jalan menuju Ubud dan Tampaksiring juga muncul artshop-artshop dan warung makan.
Mengenang Waktu Kecil
Saya dilahirkan tahun 1962. Saya mengenal Ubud pada tahun 1970. Tidak banyak kendaraan saat itu. Kendaraan umum yang ada adalah bus chevrolet dimana setiap beberapa kilometer harus diisi air lagi karena generatornya panas. Namun memasuki Ubud dari Desa Sakah, sudah terasa udaranya sejuk baik pagi maupun siang hari karena dipinggir jalan banyak pohon, terutama pohon leci. Pohon ini juga ada di depan rumah kami. Kami punya 4 pohon besar pohon leci. Pada saat itu hanya beberapa artshop yang ada, terutama di Mas. Artshop tersebut adalah artshop Ida Bagus Nyana & Son, Ida Bagus Anom di Ubud. Ada juga artshop yang menjual lukisan seperti Neka, Adipati Soeryo.
Pemandangan persawahan masih terlihat dengan bentangan Gunung Agung yang tampak menakjubkan. Kalau kita makan, ada warung nasi campur di pinggir jalan di Teges yang sekarang sudah 3 generasi berjualan dengan pengolahannya saya lihat tetap seperti yang lampau. Di pusat desa Ubud, antara Puri dan pasar dulu ada penjual nasi ayam garang asem, tepatnya di depan Puri Ubud.
Pedagangnya bernama Gusti Aji Negari dan sekitar Wantilan ada pedagang makanan Bali. Ada wantilan besar yang sekarang bisa kita lihat. Tempat itu pada waktu dulu oleh masyarakat dipergunakan untuk persiapan upacara dan sabungan ayam. Di Wantilan ini banyak terdapat burung merpati yang turun ke jalan di depan Puri, jumlahnya hampir ratusan ekor. Kalau sore kita bisa melihat ada banyak petani yang menggotong padi dan hasil perkebunannya. Sekarang cerita ini banyak kita lihat ada pada lukisan yang terpampang di museum atau artshop.
Sore hari biasanya masyarakat berjalan kaki menuju tempat pemandian di Sungai seperti Campuhan, Mumbul ataupun pancuran yang airnya masih jernih. Biasanya air dari beberapa mata air ini dibawa pulang untuk air minum tanpa dimasak. Malam hari udaranya dingin sekali di Ubud. Penerangan yang ada hanyalah lampu sentir dan petromak hanya sampai jam 8 malam saja karena ada keterbatasan minyak saat itu. Listrik belum ada. Kalau belajar pada malam hari, maka besok paginya muka ini sudah kena abu hitam karena memakai penerangan sentir. Hanya ada satu-satunya tempat yang memiliki penerangan listrik pada saat itu yakni Artshop Adipati Soeryo. Pemilik tempat ini memakai generator dan hidup / buka sampai jam 9 malam.
Aliran Baru Young Artists
Datangnya seorang seniman dari Belanda yang bernama Arie Smith pada tahun 1970 banyak memberikan nuansa baru pada kalangan anak muda di Ubud. Aliran ini sangat mudah bagi anak muda dalam mempelajari dan membuatnya pun tidak terlalu lama sebagaimana lukisan tradisional yang begitu lama pengerjaannya. Kalangan anak muda ini kebanyakan dari daerah Campuhan dan Penestanan. Mereka melukis untuk membiayai sekolah dan keluarga. Lukisan jenis ini seperti pisang goreng laris dijual bagi wisatawan Itali dan Spanyol dan sebagian anak muda itu pun juga bisa berbahasa Spanyol dan Itali.
Ubud dan Pariwisata
Ubud bukan saja menjdi kampung seniman karena didukung nuansa spiritual, nuansa alam, kehidupan budaya saja (culture life) tetapi juga karena dukungan industri pariwisata pada era tahun 1970. Sebelumnya industri tersebut hanya bisa dibangun oleh kalangan bangsawan saja seperti Hotel Campuhan. Dalam perkembangannya masyarakat biasa mulai membangun pondok wisata yang dikenal dengan home stay, rumah makan dengan gaya cuisine seperti Murni's Warung, rumah makan Cina seperti Okawati, Warung Nadi dll. Masyarakat juga mulai membuka lapak-lapak barang seni sesuai dengan perkembangan di dunia pariwisata.
Menginjak tahun 1980 walaupun di Puri sudah ada penginapan, jamuan makan makan dengan kemasan performance mulai diperkenalkan. Paket-paket tour sekeliling Bali mulai dijajakan serta penyewaan kendaraan sudah disediakan sebagai sarana pendukung. Juga mulai terjadi pertumbuhan penyediaan destinasi seperti museum dan Monkey Forest sesuai dengan pergerakan pariwisawa di Ubud. Media bahasa Inggris "Napi Orti" menjadi pelengkap yang memberikan informasi bagi para wisawatan, “Bali Path Finder” sebagai pemandu travelling di Bali. Masyarakat membangun lembaga yang bernama "Yayasan Bina Wisata" sebagai pusat informasi dan pembinaan bagi pelaku pariwisata di
Ubud.
Penutup
Ubud adalah desa, bukan kota. Ubud hanya memiliki potensi alam, sungai, kehidupan budaya serta kehidupan spiritual. Konsep pembangunan tahun 1980 yang telah kami canangkan bersama dapat dipertahankan, bagaimana pembangunan pariwisata untuk kepentingan masyarakat (community based tourism), bagaimana budaya menjadi dasar pembangunan pariwissata (cultural tourism), arts tourism, dan spiritual tourism sehingga Ubud tetap menjadi "Ubad" (obat) bagi siapa pun yang datang dan tinggal di Ubud.
Reporter: bbn/tim